Penulis: Sri Karyati
Jakarta, PERISTIWAINDONESIA.com |
Pernyataan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani yang memperkirakan Indonesia berpotensi memiliki kerugian ekonomi akibat krisis iklim mencapai Rp112,2 triliun atau 0,5 persen dari PDB pada tahun 2023, salah satunya adalah akibat tidak tersedianya sarana prasarana laboratorium praktek perlindungan masyarakat.
Hal ini disampaikan Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera Indonesia 1992 (SBSI 1992) Abednego Panjaitan, Jumat (16/9/2022) di Jakarta.
“Kerugian tersebut dapat terjadi karena lemahnya sistem pencegahan dan sarana prasarana serta pendukungnya. Hal ini harus cepat dibenahi,” ujar Sekretaris Jenderal relawan Doakan Jokowi Menang Satu Kali Lagi ini.
Oleh karena itu, lanjut Abednego, untuk dapat mengatasi kerugian ekonomi akibat krisis iklim tersebut, maka pemerintah seyogianya menyediakan sarana prasarana laboratorium praktek perlindungan masyarakat di Kampus-kampus milik pemerintah.
Menurutnya, sampai hari ini laboratorium praktek perlindungan masyarakat sebagai tempat kegiatan riset, penelitian, percobaan, pengamatan serta pengujian ilmiah belum tersedia di Indonesia.
Padahal, kata penanggung jawab kegiatan Doa Lintas Agama yang melibatkan Kementerian Agama RI dan Kementerian Dalam Negeri pada tanggal 18 Oktober 2019 di Monas ini, pemerintah sudah saatnya untuk memikirkan berdirinya laboratorium praktek perlindungan masyarakat di Indonesia.
Hal tersebut, katanya, akan dapat menyeimbangkan serta menyatukan antara teori dan praktek ilmu terkait keamanan dan keselamatan publik.
Kemudian, akan dapat memberikan keterampilan kerja ilmiah bagi para calon sarjana, dosen dan peneliti, sehingga memupuk keberanian para peneliti untuk mencari hakikat kebenaran ilmiah dari suatu objek keilmuwan di lingkungan alam dan sosial.
Krisis Iklim Bikin Negara Rugi Rp112 T
Ancaman ‘krisis’ iklim tidak main-main. Negara bisa kehilangan potensi ekonomi Rp 112,2 triliun atau 0,5 persen dari PDB pada 2023 akibat perubahan iklim.
“Indonesia diperkirakan berpotensi memiliki kerugian ekonomi akibat krisis iklim mencapai Rp112,2 triliun atau 0,5 persen dari PDB pada tahun 2023 atau tahun depan,” tegas Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam HSBC Summit 2022, dikutip Jumat (16/9/2022).
Bahkan, PDB Indonesia bisa merugi hingga 45% pada 2030 jika hal ini terus berlanjut. “Potensi kerugian ekonomi Indonesia akibat perubahan iklim ini 0,63% hingga 45% dari PDB pada 2030,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani mencontohkan, pada periode 2010 hingga 2018, emisi gas rumah kaca sudah naik hingga 4,3% per tahun. Selain itu, suhu rata-rata saat ini meningkat 0,03 derajat celcius yang akhirnya juga berpengaruh ke Indonesia.
“Akibatnya permukaan air laut di Indonesia rata-rata naik 0,8-1,2 sentimeter per tahun. Anda bisa melihat, di bukan bagian dari pulau Jawa, banyak kota yang tenggelam.” ujar mantan pejabat Bank Dunia tersebut.
Laporan PBB terbaru pun mengungkapkan bahwa dunia bergerak menuju pada arah yang salah dalam hal penanganan iklim.
“Banjir, kekeringan, gelombang panas, badai ekstrem, dan kebakaran hutan berubah dari buruk menjadi lebih buruk, memecahkan rekor dengan frekuensi yang mengkhawatirkan,” kata Sekretaris Jenderal PBB António Guterres dikutip dari USA Today.
“Gelombang panas di Eropa. Banjir besar di Pakistan. Kekeringan yang berkepanjangan dan parah di China, Afrika dan Amerika Serikat. Tidak ada yang alami tentang skala baru dari bencana ini. Itu adalah harga dari kecanduan bahan bakar fosil manusia,” tegasnya (*)