Penulis: Paulus Witomo
Cianjur, PERISTIWAINDONESIA.com |
Kasus dugaan tindak pidana kriminal terhadap anak di bawah umur yang dilakukan 2 (dua) orang Ustad terhadap Santri Pondok Pesatren Ma’Had Al Quds Li Tahfidhil Quran kabupaten Cianjur, Jawa Barat semakin memanas.
Ketua Forum Pondok Pesantren Kabupaten Cianjur Ade Ismail meminta Kementerian Agama RI mengevaluasi perijinan Pondok Pesantren tersebut.
“Tidak ada Pesantren mengajarkan budaya kekerasan. Hal itu bertentangan dengan norma dan kaidah hukum, juga agama. Jelas saya mengecam tindak kekerasan seperti itu, karena itu bukan budaya pesantren,” ungkap Ade Ismail, Sabtu (13/3/2021) di Cianjur.
Dijelaskannya, sebagai Ketua Forum Pondok Pesantren di Kabupaten Cianjur mengetahui jumlah keseluruhan kurang lebih 400 Pondok Pesantren. Rata-rata Pondok Pesantren tersebut memiliki Nomor Statistik yang telah terdaftar pada Forum Pondok Pesantren.
Akan tetapi, kata Ade Ismail, pihaknya tidak mengetahui adanya Pondok Pesantren Ma’Had Al Quds Li Tahfidhil Quran tersebut.
“Untuk itu, sebagai Ketua Forum saya akan tabayun dan mengkroscek langsung nantinya ke Pondok Pesantren tersebut dan akan menyesuaikan perijinan pendaftaran di Kementerian secara online, apakah sudah terdaftar atau belum,” bebernya.
Ditambahkannya, semestinya terdapat fakta integritas yang tidak boleh dilanggar pihak Pesantren dan itu seharusnya ditandatangani pihak Pesantren sebagai syarat untuk kelengkapan perijinan.
Disinggung soal adanya dugaan bujuk rayu penandatanganan Surat Pernyataan sepihak yang ditandatangani para orangtua Santri menyatakan orang tua akan dikenakan denda sejumlah Rp50 juta apabila menarik Peserta Didik sebelum selesai masa belajarnya di Ma’Had Al Quds Li Tahfidhil Quran, menurut Ade Ismail, Surat Pernyataan seperti itu tidak diperkenankan di Pondok Pesantren.
“Tidak boleh dan tidak ada perjanjian atau pernyataan di Pondok Pesantren yang mengikat. Dan hal seperti itu tidak benar apalagi jika tidak sesuai aturan hukum yang berlaku. Saya sebagai Ketua Forum Pondok Pesantren di Cianjur, yang membawahi kurang lebih 400 Pondok Pesantren baru kali ini tau ada Pondok Pesantren yang berkelakuan seperti itu,” terangnya.
Ade Ismail berharap aparatur penegak hukum dapat memberikan keadilan kepada para korban dan menghukum pelaku setimpal dengan perbuatannya. Sehingga nantinya tidak terulang kembali hal kekerasan seperti itu di lingkungan Pondok Pesantren.
Ketua Aliansi Srikandi Peduli Perempuan dan Anak Fuji Purwati didampinggi Praktisi Hukum yang sedang gencar-gencarnya menyuarakan Stop Human Trafficking berkerjasama dengan Kementerian Hukum dan Ham turut angkat bicara.
Fuji Purwati prihatin atas musibah yang menimpa 2 (dua) Santri tersebut. Hal ini disampaikannya kepada Awak Media saat berkunjung langsung ke rumah korban kriminal kekerasan tersebut.
Diakuinya, sangat empati terhadap fenomena kasus yang menimpa korban bernama Heru Susanto Setiawan (12 tahun) putra dari Adys Abeba bersama teman sekolahnya Zian Ahmad Sabani.
Fuji Purwati meminta Polres Cianjur dapat memberikan efek jera terhadap pelaku kriminal kekerasan terhadap anak di bawah umur tersebut.
“Untuk para guru atau Pengajar pada umumnya saya minta agar mendidik anak dengan sabar dan santun. Di usia anak seumur mereka tentulah sedang nakal-nakalnya, tetapi kita tidak boleh menghakiminya, apalagi menekan atau memukul dan lain sebagainya, karena anak ini adalah titipan dari Allah dan guru yang baik adalah guru yang memberikan contoh kepada murid-muridnya,” ungkapnya.
Hal senada disampaikan Praktisi Hukum Evon Putri Susanti SH MKN. Selain prihatin atas kondisi para korban, Evon Putri Susanti mengaku akan turut mengawal proses penanganan hukum terhadap kedua korban.
“Tidak ada alasan kasus ini tidak ditindaklanjuti, karena bukti-bukti kekerasan dan visum telah ditangan Polisi. Kasus ini harus dilanjutkan demi pembelajaran ke depan,” singkatnya (*)