Jakarta, PERISTIWA_INDONESIA.com
Penyair Sutardji Calzoum Bachri menjadi pengisi acara utama dengan menyampaikan Amanat Kebudayaan perhelatan Hari Puisi Nasional dengan tema “Panjang Umur Puisi Indonesia” yang digelar oleh FSP-TIM, Sabtu malam (28/4). Selama lebih kurang dua puluh menit, penerima Penghargaan SEA Write Award dari Raja Thailand itu, mengemukakan ketokohan Chairil Anwar, yang tanggal wafatnya dijadikan Hari Puisi Nasional. Dengan bersemangat, penyair yang sudah berusia 81 tahun itu, menguraikan peran Chairil sebagai penyair maupun sebagai manusia yang memiliki pedulian tinggi terhadap persoalan kebudayaan, antara lain dengan menggagas Surat Kepercayaan Gelanggang, dan Angkatan ’45. “Chairil itu penyair pesanan zamannya!” tegas Sutardji. Lebih jauh Sutardji membedah perkembangan sastra, perpuisian, dan pergulatan pemikiran kebudayaan Indonesia yang dihidupkan oleh Chairil Anwar, H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisyahbana, Sanusi Pane, hingga Rendra, Wiji Thukul, sampai Sosiawan Leak.
Acara yang tidak biasa itu dihadiri oleh para penyair dari sejumlah komunitas sastra yang bergiat di Jabodetabek, seperti Dapur Sastra Jakarta, Taman Inspirasi Sastra Indonesia, Sastra Reboan, Bengkel Deklamasi, Ruang Puisi Kita, Jagat Sastra Milenial, Komunitas Sastra Semesta, Forum Seniman Indonesia, Komunitas Menteng Jakarta, Komunitas Planet Senen, Penyair Seksih, Teater Jalanan Nusantara, Koloni Seniman Ngopi Semeja/Kesengsem Depok, Sastra Senja, Geng Sendal Jepit, Komunitas Indonesia Kreatif/KEPIK, Kampung Seni Jakarta, dan FSP-TIM.
Mereka hadir dengan anthusia pada perhelatan Hari Puisi Nasional yang dibuka oleh Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Iwan Henry Wardhana, di Posko #saveTIM, di kawasan Pusat Kesenian Jakarta – Taman Ismail Marzuki. Diantara para penyair, terlihat juga budayawan Taufik Rahzen, Iwan Burnani (aktor senior Bengkel Teater Rendra), Effendi Saman, SH (kuasa hukum FSP-TIM), dan sejumlah pegiat seni lainnya.
Pada bagian akhir amanah kebudayaan, dengan emosional, Sutardji menyampaikan penyesalan dan kegeramannya berkenaan dengan nasib PKJ Taman Ismail Marzuki, yang seakan sudah bukan lagi ruang yang lapang bagi para seniman. Apalagi, sesaat sebelum ia menyampaikan amanahnya, hujan gerimis sempat membasahi tempat acara.
“Saya bersedih lihat begini. Saya bersedih. Kita punya gedung yang begitu hebat, ya. Tapi kena hujan tadi, kita nyisir. Kita kayak gembel. Dan yang lebih sedih lagi, saya tak bisa ikut berjuang bersama kalian yang muda-muda. Saya sudah terlalu tua. Lelah saya. Sebab saya, pikiran saya, makan sehari-hari saja sudah susah betul! Jadi saya, dua kali sedih. Sedih melihat diri sendiri. Juga sedih melihat keadaan ini. Lucu sekali! Alangkah menyedihkan. Tetapi apakah kita memikirkan itu?”
Kepada para seniman, ia berpesan agar terus-menerus meningkatkan nilai dan makna sebagai manusia. “Jadi, kalau kau bilang manusia ini lemah, karena berasal dari tanah, ya, jangan kau berhenti hanya menjadi tanah. Tapi dari tanah itu, jadilah mulia. Kau bisa jadi batu mulia. Jiwamu jadi mulia. Kata-katamu jadi mulia. Tapi, kemuliaan itu hanya bisa tercapai, kalau kau letakkan dirimu pada kemuliaan itu. Ada keterhubungan dengan kemuliaan, dengan zat yang mulia.”
Acara HPN itu semakin hangat dengan pembacaan Petisi Cikini Raya 73 yang ditujukan kepada Dewan Kesenian Jakarta. Seluruh nnggota komunitas sastra yang hadir setuju dan bersepakat menandatangani Petisi.
Adapun lahirnya petisi, menurut Ketua Umum Federasi Pekerja Seni Indonesia (FPSI), Mujib Hermani, dilatar belakangi oleh munculnya sejumlah persoalan serius yang menjadi perbincangan ramai di ranah publik. “Jelas sekali. Sekarang ini, ada fenomena tidak sehat yang berbahaya bagi ekosistem kesenian kita di Jakarta. Kami menilai, kondisi buruk itu akan sangat mengganggu jalannya kegiatan kreatif di kalangan seniman. Termasuk marwah Taman Ismail Marzuki! Siapapun tahu, TIM saat ini sudah dikuasai oleh PT Jakpro! Kami sangat prihatin. Tapi DKJ sepertinya sama sekali tidak peduli. Lebih parah lagi, karena tidak bisa menggunakan gedung kineforum di TIM untuk even Bulan Film Nasional, mereka malah menyatakan tidak mau melakukan kurasi di kawasan yang dikuasai oleh Jakpro itu. Itu ‘kan melanggar Pergub Nomor 4 Tahun 2020. Begitu juga dengan Akademi Jakarta, mereka terkesan tidak peduli terhadap kecenderungan buruk yang sedang berkembang..”
Para seniman, dengan diinisiasi oleh Forum Seniman Peduli Taman Ismail Marzuki (FSP-TIM), sepakat bulat melancarkan “Petisi Cikini Raya 73” sebagai pernyataan keprihatinan yang dalam atas sikap dan kebijakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) itu. Para seniman menilai Dewan Kesenian Jakarta tidak berpikir dan bekerja dengan benar, dalam menjalankan kewajibannya sebagai perwakilan kepentingan seniman, dan dalam menjaga ruang-ruang ekspresi kesenian di TIM, dan juga di lima wilayah Jakarta, termasuk Gelanggang Remaja.
Petisi yang akan segera dikirim kepada DKJ dan Akademi Jakarta, menuntut Dewan Kesenian Jakarta agar tidak melakukan pembiaran terhadap penyimpangan proses dan hasil revitalisasi fisik dan non fisik Taman Ismail Marzuki yang dilakukan oleh PT Jakarta Propertindo. “Ada permasalahan teknis dan non-teknis dalam revitalisasi TIM!” tegas David Karo-karo, yang dikenal sebagai Koordinator FSP-TIM. “Ada malpraktik perencanaan, malpraktik pembangunan. Kesalahan merancang dan membangun, yang diakui sendiri oleh Dirut PT Jakpro, Pak Widi, dalam pertemuan FSP-TIM di DPRD DKI. Dia mengakui kesalahan itu dengan ungkapan “nasi sudah jadi bubur. Tapi anehnya, DKJ dan Akademi Jakarta tutup mata!” tandas David.
Para seniman juga menuntut agar Dewan Kesenian Jakarta berani menolak tarif penyewaan ruang dan bangunan yang sangat mahal, yang ditetapkan sepihak oleh PT Jakarta Propertindo. DKJ juga dituntut agar segera melaksanakan rekomendasi Musyawarah Kesenian Jakarta 2022 yang belum tuntas dikerjakan oleh DKJ, yaitu revisi regulasi Peraturan Gubernur Nomor 4 Tahun 2020 tentang Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta, termasuk rekomendasi Musyawarah Kesenian Jakarta tentang kandidat anggota Dewan Kesenian Jakarta periode 2023-2026 yang saat ini disusun Akademi Jakarta, namun diduga tidak dengan menaati Pergub Nomor 4 Tahun 2020.
Selain itu, Dewan Kesenian Jakarta dituntut untuk melaksanakan tugas kuratorial terhadap aktivitas yang berlangsung di kawasan Taman Ismail Marzuki, dan segera mengupayakan agar ruang dan gedung khususnya yang dikuasai dan dikelola oleh PT Jakarta Propertindo, segera dibuka untuk dapat dipergunakan oleh para seniman dengan bebas, mudah, dan murah. Para seniman juga menuntut Dewan Kesenian Jakarta untuk mencantumkan nama Ajip Rosidi (pendiri TIM), dan Huriah Adam, untuk ruangan atau gedung yang ada di kawasan TIM.
Para seniman juga menuntut DKJ untuk melaksanakan kewajiban advokasi terhadap Joel Thaher, karyawan tetap Dewan Kesenian Jakarta yang diberhentikan secara tidak benar, tanpa alasan yang jelas. Mereka menuntut agar Dewan Kesenian Jakarta memberikan pertanggungjawaban, pembelaan dan perlindungan yang semestinya, sesuai undang-undang ketenagakerjaan.
Secara bergantian, petisi yang bermuatan peringatan keras kepada Dewan Kesenian Jakarta itu dibacakan oleh Exan Zen, Romo Marthin, David Karo-Karo, Tatan Daniel, Nuyang Jaimee, Mogan Pasaribu, Sihar Ramses Simatupang, Sari Chikata, Joe Marbun, dan Eko Prakoso.
Disela acara, Tatan Daniel, aktivis FSP-TIM yang juga peserta Musyawarah Kesenian Jakarta 2022, mengenalkan empat kandidat anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta periode yang akan datang, yang direkomendasikan oleh Musyawarah Kesenian Jakarta; masing-masing Sihar Ramses Simatupang, Exan Zen, Imam Maarif, dan Nuyang Jaimee, yang dikenal bergiat menggerakkan aktivitas sastra di berbagai tempat di Jakarta.
Acara yang dipandu oleh Nuyang Jaimee, dirayakan dengan pembacaan puisi oleh Sihar Ramses Simatupang, Nestor Rico Tambun, Ireng Halimun, Riri Satria, Remmy Novaris Dm, Narima Beryl Ivana, Romo Marthin, , Jose Rizal Manua, Moktavianus Masheka, Wig SM, Eki Thadan, Nurhayati, Dyah Kencono Puspito, Nuri Laksmi, Theodora Polar Hutadjulu, Nanang R. Supriyatin, Megawati Nurdin, Mita Katoyo, Iwoe Banyu Gesang, Giyanto Subagio, Endin SAS, Rachma Effendi, Ayu, dan Nunung Noor El Niel. Geng Sendal Jepit, Qthink Cakrawala, dan Iyus Jayadibumi dari kelompok Kromatik, mewarnai acara yang sejenak sempat diguyur gerimis dengan melantunkan “nyanyian” puisi yang bernada kritik sosial yang tajam.