JAKARTA, PERISTIWA_INDONESIA.com
Menjelang putusan MK (Mahkamah Konstitusi) tentang uji materiil Pasal 168 dan pasal terkait lainnya dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu oleh Pemohon antara lain Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasdem),sistem proporsional terbuka pemilu DPR, DPRD, apakah bertentangan atau tidakdengan UUD 1945.
Pasalnya, telah beredar issu “MK akan putuskan sistem pemilu proporsional terbuka bertentangan dengan UUD 1945 dan digantikan dengan sistem proporsional tertutup”.
Issu itu menggambarkan seolah-olah MK mengabaikan dan menolak pendapat serta sikap banyak pihak khususnya pihak Pemerintah bersama DPR yang diwarnai oleh delapan Parpol Parlemen yaitu Partai Golkar, Partai Gerindra, PKB, Partai Nasdem, PAN, Partai Demokrat, PKS, dan PPP disatu sisi, dengan disisi lain seolah-olah MK meyakini dan akan menerima gugatan pemohon bersama pihak-pihak yang mendukungnya antara lain PDI Perjuangan dan PBB.
Lalu apakah MK dalam proses pengujian itu sudah mencermati dan menegakkan UUD 1945 secara utuh dan seksama, serta memperhatikan opini atau aspirasi mayoritas masyarakat yang terindikasi dari hasil survey beberapa Lembaga survey yang nota bene hasilnya sekitar 80 persen rakyat pemilih menghendaki sistem pemilu proporsional terbuka dengan alasan umumnya karena dengan sistem pemilu proporsional terbuka mereka dapat memilih langsung nama calon anggota DPR, DPRD yang dikehendakinya untuk mewakilinya sebagai wakil rakyat di DPR, DPRD.
Dengan peta pendapat dan aspirasi itu, wajar jika issu beredar itu dapat memicu memanasnya suhu politik ditengah berjalannya tahapan Pemilu 2024 yang seharusnya terjaga kondusif oleh segenap elemen negara bangsa termasuk oleh MK sendiri.
Menangapi hal itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional SOKSI, Ir. Ali Wongso mengaku sudah mendengar issu yang menurutnya “issu buruk” dan masih sulit dipercayainya, namun merefleksi kemungkinan preseden kasus putusan PN Jakpus yang “aneh tapi nyata” baru-baru ini.
Politisi senior Partai Golkar itu meminta semua pihak perlu ekstra waspada sekaligus menyampaikan lima hal prinsipil yang perlu dipahami oleh semua pihak, khususnya MK sebelum menetapkan amar putusannya, yaitu:
“Pertama, kami ingatkan kepada MK bahwa kedudukan, tugas pokok dan fungsi MK berdasarkan UUD 1945 adalah bukan legislator atau lazim disebut “negative legislator”. Tidak ada satu pasal-pun atau ayat-pun didalam UUD 1945 dan tentunya konsisten didalam UU Tentang MK, yang mengamanatkan MK dapat membuat UU ataupun membuat norma baru UU untuk menggantikan suatu norma UU yang terbukti bertentangan dengan UUD 1945,” kata Ali Wongso, Minggu(30/4/2023).
Suatu norma baru UU adalah bagian integral UU itu sendiri dan membuat atau mengubah UU itu sepenuhnya merupakan kewenangan DPR bersama Presiden berdasarkan Pasal 20 UUD 1945. Jadi tegasnya, MK adalah pengawal konstitusi yang didalamnya terkandung MK sebagai “negative legislator” dan harus ditegakkan oleh semua pihak terutama oleh MK yang mesti konsisten hingga penjabarannya Peraturan MK yang dibuatnya sendiri.
“Tidak boleh ada celah untuk menyimpang dari UU dan UUD 1945 sehingga setiap amar putusan MK harus taat asas dan konstitusional atau tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945,” tegasnya.
Karena itu, kata Ali Wongso, juga dalam konteks uji materil sistem pemilu proporsional terbuka, persidangan MK semestinya fokus pada proses pembuktian atau pengujian tentang apakah sistem pemilu proporsional terbuka bertentangan dengan ayat-ayat berapa pada pasal-pasal berapa dalam UUD 1945. Yang tentu harus memandang Pembukaan berikut 37 Pasal batang tubuh UUD 1945 itu secara utuh dengan rasional kritis dan komprehensif sesuai tugasnya yang diamanatkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 57 UU Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang MK.
“Jika MK meyakini suatu norma UU yang diuji materiil adalah terbukti bertentangan dengan UUD 1945, maka norma UU yang bertentangan tersebut diputuskan tidak lagi berkekuatan hukum yang mengikat, tanpa membuat amar putusan tambahan berupa norma UU. Lalu amar putusan MK itu dikirimkan kepada DPR dan Presiden selaku pembuat UU sesuai Pasal 20 UUD 1945,” kata mantan Anggota Pansus DPR RI yang menghasilkan UU Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang MK itu.
Sejalan dengan itu, sidang-sidang MK tak perlu membuang-buang waktu banyak mubazir dengan terseret pembahasan tentang baik buruknya suatu sistem pemilu hingga menggali sistem pemilu alternatif pengganti dari sistem yang sedang diuji materiil terhadap UUD 1945 sebagaimana terjadi sekarang ini.
Berdasarkan konstitusi, pembahasan demikian itu adalah proporsi rapat dengar pendapat DPR RI selaku pembuat UU Pemilu termasuk membahas sistem pemilu didalamnya dalam rangka menjalankan fungsi legislasinya kelak, bukan sidang-sidang uji materil MK.
Kedua, lanjut Ali Wongso, dengan kajian rasional kritis, mendalam dan komprehensif yang SOKSI lakukan, bahwa sistem pemilu proporsional terbuka sebagaimana didalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu adalah clear and clean, tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Tafsir terhadap Pasal 22E ayat (3) yang mengamanatkan “Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD adalah Partai Politik” tidak bisa berdiri sendiri atau terlepas dari Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 22 E ayat (1) serta ayat (2) UUD 1945. Yang berarti dan bermakna mengamanatkan bahwa kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat 2 UUD 1945) dilaksanakan menurut UUD yaitu dengan Pasal 22 E ayat (1) UUD.
“Pemilihan Umum dilaksanakan dimana rakyat pemegang kedaulatan memilih secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, setiap lima tahun sekali dan Pasal 22E ayat (2) UUD yaitu rakyat pemegang kedaulatan itu memilih anggota DPR, DPRD (bukan memilih Parpol karena UUD mengamanatkan memilih anggota DPR, DPRD secara langsung dan yang dimaksud anggota DPR, DPRD itu adalah wakil rakyat sesuai arti dan makna DPR, DPRD,” ucapnya.
“Jadi wakil rakyat adalah berupa orang yang tentu pasti ada nama-nama orangnya). Lalu nama-nama anggota DPR, DPRD yang dipilih oleh rakyat pemegang kedaulatan itu bersumber dari Peserta Pemilu yaitu diajukan oleh Parpol sebagai Peserta Pemilu sesuai Pasal 22E ayat (3), dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang mengamanatkan “negara Indonesia sebagai negara hukum”, tegasnya.
Sebagai negara hukum, UU Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Parpol, pada Pasal 29 mengatur tugas Parpol antara lain merekrut warga negara dan mengajukan calon anggota DPR, DPRD, selaras dengan Pasal 22 E ayat (3) UUD 1945 yang mengamanatkan Parpol adalah Peserta Pemilu DPR, DPRD.
“Jadi jelas UUD 1945 mengamanatkan rakyat berdaulat memilih siapa nama anggota DPR,DPRD yang dikehendakinya menjadi wakilnya sebagai wakil rakyat di DPR,DPRD dari antara nama-nama yang diajukan oleh para Parpol Peserta Pemilu DPR,DPRD dalam Pemilu DPR,DPRD yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, setiap lima tahun sekali,” katanya.
Berdasarkan UUD 1945 dan UU Parpol, bahwa peranan dan kewenangan dan tugas Parpol sebagai Peserta Pemilu DPR, DPRD relatif sangat besar dimana dalam Pemilu DPR, DPRD bahwa rakyat yang berdaulat terbatasi peluang pilihannya untuk mewakilinya sebagai wakil rakyat dengan daftar nama calon anggota DPR, DPRD yang hanya diajukan oleh para Parpol Peserta Pemilu.
Ketiga, lanjutnya, masyarakat luas mengetahui bahwa sejarah sistem pemilu proporsional terbuka DPR, DPRD bermula dari Putusan MK Tahun 2008 Nomor 22-24/PUU-VI/2008 atas uji materil UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dengan amar putusan apa yang kemudian disebut sistem proporsional terbuka dalam Pemilu DPR, DPRD tahun 2009.
Adapun Hakim Konstitusi yang mulia ketika itu adalah Bapak Prof.Dr. Mahfud MD yang dikenal track record integritas pribadinya tinggi selaku Ketua MK bersama para Hakim MK lainnya ketika itu.
Kemudian dalam perjalanan sejarah pemilu Indonesia, sistem pemilu proporsional terbuka DPR, DPRD yang diputuskan oleh MK Tahun 2008 pimpinan Prof.Dr. Mahfud MD itu telah berlanjut dalam UU Pemilu Nomor 8 Tahun 2012 untuk Pemilu 2014 serta UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dalam Pemilu 2019.
Seandainya para Hakim MK Tahun 2023 memutuskan sistem pemilu proporsional terbuka DPR, DPRD bertentangan dengan UUD 1945, yaitu kebalikan dari putusan Hakim MK Tahun 2008 dimana sistem pemilu proporsional terbuka DPR, DPRD sesuai dengan UUD 1945 dan oleh DPR bersama Presiden dan masyarakat luas telah melanjutkan pemberlakuan sistem pemilu proporsional tebuka itu dalam Pemilu 2014 dan 2019.
Maka timbul penilaian dan pertanyaan publik kepada para Hakim MK Tahun 2023 antara lain: MK sebagai Lembaga Kehakiman Konstitusi telah membuat amar putusan yang bertolak belakang dalam putusannya tentang sistem pemilu proporsional terbuka DPR, DPRD, lalu putusan yang mana yang benar berdasarkan UUD 1945 dan mana putusan yang sesat?
Kemudian bagaimana legitimasi konstitusional terhadap belasan ribu anggota DPR dan DPRD yang terpilih dalam Pemilu sejak 2009 hingga sekarang sebagai produk sistem pemilu yang bertentangan dengan UUD 1945? Bagaimana legalitas atas seluruh produk DPR, DPRD sejak 2009 seperti UU, Perda dan APBN/APBD selama 13 tahun terakhir ini?
Bagi SOKSI, apabila terjadi “issu buruk” itu, maka putusan Hakim MK Tahun 2008 dibawah pimpinan Prof.Dr Mahmud MD itulah yang benar dalam koridor UUD 1945 dan clear and clean tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Karena itu demi menjaga tegaknya Konstitusi sekaligus menjaga konsistensi putusan yang benar oleh MK sebagai Lembaga Kehakiman Konstitusi yang mulia dengan eksistensinya yang diatur oleh UUD 1945 dan konsistensinya didalam UU Nomor 7 Tahun 2020 Tentang MK, maka SOKSI sebagai bagian dari masyarakat bangsa ini menghimbau kepada para yang mulia Hakim MK agar kiranya amar putusan MK dalam uji materiil sistem pemilu proporsional terbuka DPR, DPRD itu, MK menolak gugatan terhadap pasal 168 dan pasal-pasal terkait lainnya dalam UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu sebagai cerminan integritas, kepribadian, kenegarawanan, penguasaan terhadap konstitusi dan ketatanegaraan para yang mulia Hakim MK sesuai ayat (5) Pasal 24C UUD 1945.
Keempat, bahwa ekses dari proses demokrasi politik seperti “politik uang, kanibalisme politik, dan lain sebagainya”, bukan berarti pihak siapapun dapat secara naif “memvonis penyebabnya adalah sistem proporsional terbuka bahkan dalam persidangan MK, konon “ada oknum saksi ahli tertentu yang mengkambinghitamkan sistim proporsional terbuka sebagai penyebab berbagai masalah bangsa ini, lalu memvonis sistim pemilu proporsional terbuka itu keliru dan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga harus diganti dengan sistim proporsional tertutup”.
“Cara berpikir dan pandangan seperti itu tentu tidak rasional, tidak logis dan sangat naif, namun ruang berpendapat tetap harus dibuka secara proporsional namun bukan di sidang uji materiil MK tetapi pada rapat-rapat dengar pendapat DPR ketika akan mengubah UU Pemilu itu kelak,” ucapnya.
Menurut SOKSI, sistem apapun termasuk sistem pemilu proporsional terbuka DPR, DPRD ini harus disertai dengan peranan Parpol dan Pemerintah melaksanakan pendidikan politik bangsa kepada rakyat selain kepada anggotanya.
Kewenangan Parpol mengajukan daftar nama calon anggota DPR,DPRD itu logikanya perlu seimbang dengan pelaksanaan tugas Parpol sesuai UU Parpol untuk melaksanakan pendidikan politik kader kepada para anggotanya termasuk didalamnya agar tidak sampai mencederai demokrasi dan melanggar hukum dengan melakukan antara lain “politik uang” dan “kanibalisasi politik” dan sebagainya selain melaksanakan pendidikan politik bangsa kepada rakyat untuk meningkatnya kedewasaan politik rakyat termasuk agar menolak “politik uang” dalam proses Pemilu DPR, DPRD.
Kemudian diperlukan mutlak penegakan hukum (law enforcement) dengan menindak tegas pihak-pihak atau para oknum yang melakukan pelanggaran hukum seperti “politik uang” dan “kanibalisme politik”, namun selama ini penegakan hukum itu belum berjalan proporsional seiring dengan maraknya “politik uang”.
“Karena itu sangat diperlukan komitmen dan kemauan politik Parpol Peserta Pemilu, seluruh jajaran KPU, Bawaslu dan Pemerintah bersama masyarakat luas untuk mencegah hingga memberantas ekses-ekses yang mencederai demokrasi itu kedepan dengan melaksanakan Pendidikan politik dan kaderisasi serta pengawasan yang ketat berikut penegakan hukum yang efektif, bukan lagi rutinisme, apalagi dengan naif mempersalahkan sistem proporsional terbuka bahkan menggiringnya seolah-olah bertentangan dengan UUD 1945,” tegas mantan Anggota Badan Legislasi DPR RI 2009-2014 itu.
“Dalam konteks ini, ada pepatah mendidik yang relevan mengingatkan semua pihak: “Jangan membakar lumbung untuk memberantas tikus.” dan satu lagi “jangan salahkan lantai jika engkau tak pandai menari”, ungkapnya.
Kelima, SOKSI memandang bahwa sistem pemilu proporsional terbuka dapat dikaji, disempurnakan ataupun diganti dengan sistem yang lebih baik bagi kemajuan bangsa kedepan oleh DPR RI bersama Presiden RI hasil Pemilu 2024 mendatang melalui agenda prolegnas perubahan terhadap UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu sesuai Pasal 20 UUD 1945.
SOKSI mendukung perubahan UU Pemilu oleh DPR bersama Presiden pasca Pemilu 2024 untuk membangun sistem pemilu yang lebih demokratis dan efektif untuk memajukan bangsa kedepan sebagai landasan yang makin kokoh menuju Indonesia Emas 2045.
Lebih jauh menjawab pertanyaan wartawan tentang apa resikonya seandainya “issu buruk” itu sampai terjadi, Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar itu mengatakan, mayoritas Parpol Peserta Pemilu akan cenderung berpotensi instabilitas karena potensi konflik kepentingan yang dapat terjadi akibat putusan MK.
“Akibat putusan MK, sesuai “issu buruk” itu dan Parpol akan bereaksi terutama para kadernya diprediksi bereaksi negative bahkan bukan tak mungkin bersifat keras karena tidak siap mengantisipasi konsekuensi perubahan sistem yang terjadi diluar koridor Konstitusi itu dan yang terjadinya secara tiba-tiba menjelang sekitar 210 hari lagi Pemilu 2024,” paparnya.
“Demikianmasyarakat banyak yang menghendaki tetap berlakunya sistem pemilu proporsional terbuka DPR, DPRD juga akan bertanya kritis, “untuk apa dan kepentingan siapa serta pihak mana yang ‘bermain’ hingga sampai muncul putusan MK menabrak konstitusi dan apa motive memaksakannya keluar pada momentum mendekati penyelenggaraan Pemilu 2024?” tambahnya.
“Karena itu, “issu buruk” itu semoga tak kan pernah terjadi agar supaya tidak memicu situasi yang dapat beresultante terbangunnya potensi kegaduhan yang mengganggu proses Pemilu 2024 dan merugikan perjalanan kehidupan bangsa diakhir masa periode kedua Bapak Presiden Jokowi, yang tak perlu terjadi tetapi justru seharusnya proses politik menuju Pemilu 2024 harus dibangun bersama secara efektif dan kondusif dalam koridor konstitusi UUD 1945, konsitusi, hukum, dan demokrasioleh semua pihak, termasuk oleh MK dan semua Parpol, dengan demikian kondisi politik nasional menuju Pemilu 2024 tetap kondusif,” tegas kader senior SOKSI binaan langsung Pendiri SOKSI Pak Suhardiman itu. (*)