Penulis: Agus Susanto
Yogyakarta, PERISTIWAINDONESIA.com |
Arus informasi saat ini begitu deras mengalir sampai disetiap insan manusia, lewat yang namanya gadget, sangat sulit terbendung. Bahkan, tidak sedikit umat Kristiani terkadang terbawa arus ikut menyebarkan informasi yang tidak berdasar atau dikenal kalayak ramai dengan sebuatan HOAX ataupun ikut menyebarkan pehaman-pemahaman yang tidak kontekstual dengan kebutuhan zaman.
Derasnya arus informasi yang sampai disetiap manusia, membutuhkan kecerdasan dalam menyikapi agar dapat memilih dan memilah sehingga ketika terbawa arus informasi, tidak meneruskan informasi yang HOAX atau pemahaman-pemahaman yang tidak kontekstual dengan kebutuhan zaman.
Arus informasi mendatangi insan saat ini tidak memilih-milih kelompok, atau tempat, dimanapun, selama insan manusia masih menggenggam atau menggunakan gadget, termasuk di dalam dunia pendidikan.
Besar kemungkinan informasi tentang radikalisme agama dapat mendatangi pemilik-pemilik gadget tetapi harus diingat! Ajaran agama tidak pernah ada kekerasan namun ini tergantung dari kacamata mana melihatnya dan dari pemimpin agama mana yang menjadi panutan. Sebab dari situ semuanya akan jadi berbeda, khsusnya di kalangan Kristiani, dari pendeta mana panutannya (guru) maka kemungkinan besar akan beda penjelasan atau ajaran, doktrin.
Itu semua terjadi karena memang memiliki perbedaan cara pandang. Tidak sedikit di kalangan pimpinan agama itu memiliki cara pandang berbeda, bahkan ada yang memiliki sikap yang menolak toleransi.
Melihat “cermin” bangsa yang memiliki dasar Pancasila ini, sangat mudah untuk mengetahui mana yang mengedepankan toleransi dan intoleransi, semisal, masih adanya kelompok yang melakukan pelarangan pendirian tempat ibadah atas dasar agama yang berbeda. Bahkan pelarangan mengadakan kegiatan ibadah, termasuk mengucapkan selamat dari dan kepada agama yang berbeda.
Kalau yang dikedepankan toleransi, mestinya di negara yang Bhineka Tunggal Ika ini sudah tidak perlu terjadi adanya praktik-praktik pelarangan. Tapi mungkin masih terjadi karena maskih banyak yang tidak tahu tentang harmonisaasi, saling membutuhkan atau dikenal dengan sebutan saling tolong menolong, yang tentu akan mengikat dalam toleransi. Ini perlu untuk ditularkan dan digaungkan. Bahasa sederhananya, silahturahmi harus terus disampaikan dan dipraktikkan.
Mahasiswa/i beragama Kristiani yang berada di Fakultas Filsafat,Ekonomi Bisnis (Kampus Jogja atau Mana PAK? MOHON DI ISI), terus setiap waktu membangun silahturahmi dengan melakukan kunjungan ke beberapa tempat peribadatan misalnya di Pure Jagatnata, Bantul, Pondok Pesantren (MISAL APA NAMANYA) dan Goa Ganjuran (INI DIMANA DAN APA HUBUNGANNYA DENGAN SILAHTURAHMI).
Dalam kunjungan ke Ponpes, diantaranya Ponpes….lewat silahturahmi terbangun ikatan toleransi, mahasiswa/I (KAMPUS APA PAK), mendapatkan sambutan yang luar biasa, diantaranya keterbukaan.
Sebagai bukti, ketika terjadi perbincangan yang penuh canda tawa dan disertai pertanyaan-pertanyaan, termasuk pertanyaan Rahmatan Lil Alamin, mendapatkan jawaban yang tulus, dimana adanya hukum cinta kasih.
Kunjungan ditutup dengan makan siang bersama yang tentunya berdoa dengan cara masing –masing agama.
Tidak berbeda juga dengan kunjungan ke Pure Jagatnata di Bantul, Mahasiswa/I di doakan oleh pemimpin Umat Hindu supaya tetap bijak dalam melangkah. Kalau di Hindu ada 5 aturan (Panca sradha),yang senantiasa mengajarkan selalu dekat dengan Tuhan atau Sang Hyang Widi.
Dalam kunjungan silahturahmi itu terbangun hubungan memperkuat toleransi. Sebagai bukti, para mahasiswa/i diperbolehkan untuk mengunjungi tempat-tempat ibadah yang ada di kompleks Pure Jagatnata.
Terungkap dari pengurus yang ada, sangat senang dengan adanya kunjungan ini. Dan akan mempersiapkan kunjungan balasan di waktu-waktu yang akan datang.
Bercermin dari kunjungan-kunjungan ini, gereja-gereja dapat mengambil hikmah, di mana gereja perlu menghadirkan komisi lintas iman untuk mempererat silahturahmi dan mengikat toleransi (*)