Penulis: Sukma Panjaitan
Jakarta, PERISTIWAINDONESIA.com |
Ketua Umum Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K) SBSI Prof Dr Muchtar Pakpahan SH MA menegaskan bila buruh dan mahasiswa diam, berarti memasuki dunia penderitaan.
“Makanya lebih baik melawan, kalaupun dipenjarakan lebih terhormat dari pada penderitaan itu dilakoni karena takut bicara, akan mati sebagai pecundang,” tegas Muchtar Pakpahan, Minggu (1/11/2020) di Jakarta.
Menurutnya, tempo dulu, keserakahan itu lewat kebijakan pemerintahan Orde Baru atau policy approach, tapi sekarang melalui (keserakahan) Undang-undang atau legal approach.
“Lebih bahaya yang legal approach, yang memakan rakyat Indonesia secara sistematis, masif, terorganisir dan sah secara hukum,” imbuhnya.
Disampaikan Guru Besar UTA 45 ini, sumbangsih generasi milenial belum tampak selain aksi demonstrasi besar-besaran menolak UU Cipta Kerja yang berlangsung dalam waktu terakhir ini.
“Faktanya, massa utama yang demonstrasi melawan UU Cipta Kerja itu adalah Buruh dan mahasiswa. Sama dengan tahun 1998 pun, massa utama yang demo itu adalah buruh dan mahasiswa,” ujarnya.
Mengapa Demo?
Merunut cerita masa lalu, kata Muchtar Pakpahan, setelah RUU Ketenagakerjaan disahkan tahun 2002, SBSI bersama KADIN dan APINDO melakukan demo di depan istana selama seminggu, juga didukung mahasiswa.
Pasalnya, di dalam RUU tersebut tiba-tiba masuk outsourcing (aannemer) dan PKWT (Buruh Kontrak). Ketika itu, Presiden Megawati Soekarnoputri yang didukung fraksi terbesar PDIP tetap mengundangkannya menjadi UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Buruh melawan, karena sadar akan menerima penderitaan dari outsourcing dan buruh kontrak itu. Mahasiswa pun ikut melawan walaupun tidak sesemarak melawan UU Cipta Kerja saat ini, karena mereka memahami bahwa jikalau lulus dari Perguruan Tinggi, lalu bekerja menerima upah maka akan menyandang status outsourcing (buruh kontrak), berarti menderita,” ulasnya.
Apa yang ditakutkan Buruh dan Mahasiswa tersebut, melahirkan fakta yang akurat, dimana hampir di semua BUMN, usaha perbankan dan lembaga keuangan memberlakukan outsourcing dan buruh kontrak.
“Siapa yang mengalaminya? Tentu para Sarjana atau lulusan Perguruan Tinggi. Dari sudut hubungan industrial, UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberi kehidupan penerima upah atau buruh bernasib buruk. Kemudian datang lagi UU Cipta Kerja dengan sistem Omnibus Law yang jauh lebih buruk dari UU nomor 13 tahun 2003,” timpalnya.
Dikatakannya, UU Cipta Kerja mencerminkan perilaku, bahwa sekali buruh kontrak akan terus buruh kontrak dan penerapan outsourcing tanpa batas.
Diperburuk lagi tidak dilibatkannya Dewan Pengupahan (tripartit) dalam menentukan UMP serta begitu mudahnya pengusaha mem-PHK.
“Dapat digambarkan, begitu mudahnya orang kaya semakin kaya dan penerima upah rendah akan terus bernasib buruk. Ini akan diundangkan Presiden Joko Widodo kader PDIP (ucapan Puan Maharani) dan didukung PDIP sebagai fraksi terbesar di DPR RI. Sama dengan tahun 2003,” sebut Muchtar Pakpahan.
Partai Wong Cilik?
Muchtar Pakpahan juga menyindir PDIP sebagai simbol marhaen dengan slogan Partai Wong Cilik.
“Yang mengherankan bagi saya adalah mengapa PDIP simbol marhaen dengan slogan partai wong cilik, ditambah dipahami sebagai titisan Bungkarno membuat kapitalis sangat berbahagia dan rakyat marhaen menderita?” ucapnya.
Menurutnya, kecaman Bung karno yang sangat keras kepada Kapitalisme yang beranakkan Imperialisme dan Neokolonialisme adalah ‘d exploitation d’lhome par lhome (penghisapan darah manusia oleh manusia).
“Dimana itu terdapat? Di status outsourcing dan status buruh kontrak, ditambah upah murah dan mudah di-PHK,” jelas Muchtar Pakpahan.
Muchtar Pakpahan berharap dapat mendiskusikan UU Cipta Kerja ini dengan petinggi PDIP termasuk dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
“Faktanya sulit terwujud. Sebagai kader PDI tahun 1977, saya ingin memahami perkembangan pemikiran apa tentang kapitalis vs marhaenis yang dipahami para fungsionaris PDIP sebagai partai wong cilik dan titisan Bungkarno,” imbuhnya.
Karena itu, Muchtar Pakpahan menjelaskan, demo yang dilakukan mahasiswa bersama buruh saat ini adalah untuk mencegah agar rakyat Indonesia tidak menderita karena UU Cipta Kerja memberi keleluasaan kepada Kapitalis untuk melakukannya.
“Sewaktu saya mahasiswa 1973 – 1981, sering juga demo menentang keserakahan kapitalis yang dibonceng IMF dan WB. Puncak demo itu 1998, pada saat itu status saya narapidana politik dan menghadirkan reformasi, kemudian menghantar Ibu Megawati menjadi Presiden RI pada tahun 2001,” tandasnya (*)