Penulis: Paulus Witomo
Jakarta, PERISTIWAINDONESIA.com |
Puluhan Supir Next Taksi mengadakan aksi mogok kerja, Selasa (18/5/2021) di jalan Raya Keranggan No 26 Jakarta.
Mereka meminta kebijakan perusahaan untuk meninjau ulang soal setoran Mingguan yang sebelumnya dituangkan di dalam Surat Perjanjian Kemitraan.
Salah seorang kordinator aksi Budi H yang juga adalah pengemudi Next Taksi menjelaskan, di masa pandemi Covid-19 yang mengancam penduduk dunia seperti saat ini membuat penghasilan seluruh supir taksi konvensional sangat menurun tajam.
Apalagi untuk mencegah penularan pandemi Covid-19, pemerintah telah membuat berbagai kebijakan seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mengakibatkan penumpang amat jarang menggunakan jasa transportasi sehingga sangat berdampak pada mata pencaharian para supir Next Taksi.
Di sisi lain, tindakan pihak perusahaan dinilai sangat sewenang-wenang menekan para supir untuk membayar kewajiban atau setoran sesuai yang diperjanjikan dalam Surat Perjanjian Kemitraan.
Padahal, menurut mereka, apa yang diperjanjikan itu pun kurang dimengerti oleh para Supir karena copyan atau salinan Surat Perjanjian Kemitraan tidak pernah diberikan pihak perusahaan kepada mereka.
Adapun tuntutan para Supir Next Taksi yang ditandatangani 39 orang pengemudi tersebut antara lain menolak dan meminta pengurangan besaran setoran per minggunya senilai Rp.1.000.000,- dan meminta pihak perusahaan agar kekurangan setoran per minggunya ditagih atau dibayar saat pelunasan kontrak saja.
Menurut para Supir, penghasilan mereka saat ini sangat menurun tajam, sehingga kebijakan perusahaan harus diubah. Hal ini seirama dengan konsep pemerintah dalam menghadapi wabah Covid-19.
Bersamaan dengan adanya aksi tersebut, aktivis Serikat Buruh Sejahtera Indonesia 1992 (SBSI 1992) Marjuddin Nazwar mengecam pihak perusahaan yang menutup-nutupi isi Surat Perjanjian Kemitraan dimaksud.
Dikatakannya, dalam keadaan apapun pihak perusahaan harus terbuka dan harus memberikan salinan perjanjian kerja yang di dalamnya melibatkan kedua belah pihak yang menyepakati adanya perjanjian tersebut.
Meskipun dengan alasan adanya hal-hal yang dirahasiakan (confidential), namun sepanjang surat perjanjian itu dibuat antara Supir dengan Perusahaan, maka salinan perjanjian harus diberikan kepada para pihak.
“Artinya, kita berhak dan harus mendapatkan salinannya sesuai isi dalam pasal 54 ayat (3) UU No 13 thn 2003 Tentang Ketenagakerjaan yaitu “Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja,” terangnya.
Dijelaskanya, berdasarkan keterangan beberapa orang Supir kepadanya, bahwa menurut pihak perusahaan dalam menjalin kesepakatan kerjasama dengan pihak Supir mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) No 44 tahun 1997 tentang kemitraan, bukan sesuai undang-undang ketenagakerjaan.
“Jelas kebijakan itu timpang, dimana antara Pengusaha dengan Pekerja jasa transportasi atau pengemudi Next Taksi ada hubungan kerja sesuai UU Ketenagakerjaan, bukan kemitraan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 44 tentang Kemitraan,” tolak Marjuddin.
Menurutnya, sangat jelas di dalam Surat Perjanjian Kemitraan itu mengatur para pihak. Misalnya, ada Pekerjaan, Upah dan Perintah.
“Jadi, tindakan tersebut patut diduga adalah unsur kesengajaan pihak pengusaha untuk mengaburkan adanya hubungan kerja,” ungkapnya.
Untuk itu, SBSI 1992 akan mengawal kasus ini, bahkan dapat membawa perkara ini ke ranah hukum apabila kemudian SBSI 1992 menemukan adanya tindak pidana perbuatan melawan hukum (*)