DESA SUKAWANGI, KAB. BOGOR | peristiwaindonesia.com – Puluhan tahun tinggal di atas tanah yang diklaim sebagai kawasan hutan Perhutani, warga Desa Sukawangi kini berjuang untuk mendapatkan kepastian hukum melalui sertifikasi tanah. Namun, upaya mandiri mereka justru memunculkan kontroversi setelah setiap pemilik lahan diminta membayar Rp200.000 per bidang untuk pengukuran tanah—total potensi dana terkumpul mencapai Rp566 juta. Rabu, (28/05/2025)
Sejak 2019, warga Desa Sukawangi melalui “Paguyuban Forum Komunikasi Warga Sukawangi (FKWS)” berupaya mendorong pelepasan kawasan hutan untuk dijadikan tanah sertifikat. Kendala muncul karena kawasan hijau tidak bisa diukur dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pemerintah, sehingga warga melalui Paguyuban FKWS mengambil inisiatif mandiri dengan mengumpulkan dana untuk pengukuran melalui konsultan luar maupun konsultan dari paguyuban itu sendirian.
Lala, bendahara FKWS, menjelaskan,
menurutnya Dana Rp200.000 per bidang disepakati bersama untuk biaya pengukuran dan administrasi. Sebanyak 2.830 bidang sudah terdaftar, tapi prosesnya kini berkoordinasi dengan pemerintah desa.
”Kami menarik dana dari masyarakat sebesar Rp200.000 per bidang. Ini hasil kesepakatan bersama. Dana digunakan untuk membayar tukang ukur dan proses administrasi.”katanya.
Namun, transparansi penggunaan dana dipertanyakan. Sejumlah warga mengaku kecewa dan pernah melakukan demonstrasi karena ketidakjelasan alur keuangan. Beberapa bahkan terpaksa menjual barang pribadi dan pinjam ke bank emok untuk membayar iuran.
Sementara itu, (Sekdes) Sekertaris Desa Sukawangi Ujang, saat dikonfirmasi mengatakan, “Itu kaitan pelepasan kawasan hutan (PKH), saya ketua nya, Cuma bukan ketua paguyuban 0m.”kata Sekdes (27/05).
Selaku ketua PKH, Ujang menjelaskan, “Kami mewadahi keinginan masyarakat melalui paguyuban untuk proses pelepasan kawasan hutan, pada saat proses harus dilakukan pengukuran bidang tanah, karena sasarannya adalah areal permukiman, Fasos dan Fasum (fasilitas sosial dan fasilitas umum).”Ucapnya.
Ujang menegaskan bahwa biaya Rp200.000 bukan untuk sertifikasi, melainkan proses pelepasan kawasan hutan.
”Pengukuran dilakukan pihak ketiga, dan biaya ini berdasarkan kesepakatan warga. Alhamdulillah, sudah ada jawaban dari KLHK, meski luasan yang disetujui belum sesuai permohonan,”ujarnya.
Dia menambahkan bahwa “Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH)” akan segera menetapkan batas lahan yang bisa dilepaskan untuk sertifikasi.
Paguyuban FKWS dan Pemdes Sukawangi harus memastikan akuntabilitas dana masyarakat, termasuk audit independen.
Warga berhak meminta laporan keuangan rinci, mengingat total dana yang terkumpul bisa mencapai ratusan juta.
Pelepasan kawasan hutan harus melalui proses KLHK dan BPN, tetapi partisipasi warga dalam biaya pengukuran seharusnya dibarengi pendampingan hukum agar tidak ada eksploitasi.
Pemkab Bogor perlu mempercepat proses verifikasi dan sertifikasi, mengingat ini menyangkut kepastian hak milik ribuan warga.
Warga menanti kepastian dari Pemkab Bogor dan KLHK untuk segera menyelesaikan tapal batas lahan yang akan dilepaskan. Jika tidak, konflik tenurial berpotensi memanas, terutama jika warga merasa dibebani biaya tanpa hasil jelas.
”Kami hanya ingin tanah yang kami tinggali puluhan tahun ini diakui negara,”kata salah satu warga.
Lanjut Warga, “Dan terkait dana yang sudah kami serahkan Rp. 200 ribu, bahkan sampai saat ini belum ada kejelasan. Mana saya bayar sampai pinjem ke bank emok”,Tukasnya
(Red)
#SertifikasiTanah #HutanSosial #TransparansiDana #KabupatenBogor