Penulis: Marjuddin Nazwar
Jakarta, PERISTIWAINDONESIA.com
Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera Indonesia 1992 (SBSI 1992) Abednego Panjaitan menilai Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang selalu dibangga-banggakan pemerintah selama ini kurang mengakomodir kepentingan Buruh di Indonesia.
“Program JKP kurang bermanfaat untuk menjamin kehidupan Buruh Indonesia. Saya pribadi menilai Program JKP ini abal-abal dan kurang serius untuk melindungi kepentingan Buruh dan keluarganya,” kata Abednego Panjaitan, Sabtu (19/2/2022) di Jakarta.
Menurutnya, merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 15 tahun 2021 tentang Tata Cara Pemberian Manfaat JKP, maka Buruh Indonesia ke depan akan banyak kecewa dengan program JKP ini.
Alasan Sekretaris Jenderal relawan Doakan Jokowi Menang (DJM) Satu Kali Lagi ini adalah Pertama, proses pengajuan manfaat JKP sangat rumit dan berbelit-belit.
Dicontohkannya, pengusaha wajib memberitahukan perubahan data peserta yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada BPJS Ketenagakerjaan dengan mengisi formulir melalui sistem paling lama 7 (tujuh) hari sejak PHK.
Artinya, kalau pengusaha tidak melaporkan data PHK ini ke BPJS, maka manfaat JHT tidak akan bisa diterima oleh Buruh.
Selain itu, perusahaan atau Buruh juga disuruh mendapatkan tanda terima laporan PHK dari Dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
“Buruh perkebunan rata-rata berada di pelosok daerah dan jaraknya mencapai ratusan kilometer atau sangat jauh dari Kantor Dinas Tenaga Kerja. Maka apabila Buruh disuruh mengurus tanda terima dari kantor Dinas Tenaga Kerja, maka tentulah mengeluarkan biaya besar dan cost yang sangat tinggi, belum lagi rumitnya urusan di kantor pemerintahan yang kadangkala butuh beberapa hari untuk penyelesaiannya,” beber Abednego.
Kemudian, penerima manfaat JKP juga harus mendapatkan petikan atau putusan PHI yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Artinya, apabila PHK masih berproses perkara di Pengadilan atau sebelum putusan incraht, maka Buruh belum bisa mendapatkan manfaat JKP.
Padahal, proses perkara mulai dari tingkat Pengadilan Negeri sampai ke Mahkamah Agung bisa memakan waktu hingga 2 (dua) tahun.
Sementara uang manfaat JKP yang diharapkan pun tidak seberapa (45% dari upah sebulan pada tiga bulan pertama dan 25% pada tiga bulan berikutnya), sehingga urusan yang rumit dan berbelit-belit seperti ini akan menyurutkan niat Buruh untuk mengurus manfaat JKP tersebut.
Kedua, jika pekerja mengundurkan diri dari Perusahaan, maka tidak akan mendapatkan manfaat JKP.
Artinya, JKP hanya diperuntukkan bagi mereka yang terkena PHK saja. Sementara faktanya di lapangan, pekerja rata-rata berhenti dari perusahaan karena resign atau mengundurkan diri.
“Persoalan yang dihadapi Pekerja/Buruh selama ini adalah pengusaha selalu menghindari PHK supaya tidak membayar uang pesangon kepada karyawannya. Malah ada pengusaha yang sengaja melaporkan pekerjanya ke Polisi agar tidak membayarkan uang pesangon. Ini fakta yang dialami Buruh di lapangan,” terang Abednego.
Ketiga, pekerja sudah mendapatkan pekerjaan baru. Hal ini berarti karyawan yang sebelumnya di PHK dan setelah mendapatkan pekerjaan baru, maka tidak bisa menerima manfaat JKP.
Di sisi lain, salah satu persyaratan agar Buruh mendapatkan manfaat JKP ialah harus bersedia untuk bekerja kembali.
Artinya, baik pemerintah maupun Buruh sama-sama berharap setelah di PHK akan cepat-cepat mendapatkan pekerjaan pengganti supaya bisa membiayai kehidupannya.
“Ini kan aneh. Setelah mendapatkan pekerjaan baru, maka Buruh tidak berhak lagi untuk menerima manfaat JKP. Siapa pula orang bodoh yang terpaksa tidak bekerja selama enam bulan demi mendapatkan manfaat JKP yang tidak seberapa itu? Bagi Buruh, setelah di PHK hari itu juga kalau bisa langsung mendapatkan pekerjaan pengganti. Lagi pula, setelah di PHK, maka uang pesangon dan penghargaan masa kerja karyawan akan terhitung 0 (nol) tahun di tempat kerjanya yang baru,” ungkapnya.
Keempat, pekerja meninggal dunia dan cacat total. Menurut Abednego, persyaratan seperti ini hanya dibuat orang yang sangat kejam dan tidak berakal sehat.
“Siapa pula manusia yang menginginkan mati dan cacat total saat masih usia produktif? Ini kan musibah dan takdir kehidupan. Hal ini membuktikan bahwa JKP dibuat tidak untuk melindungi Buruh dan memberikan jaminan kepada keluarganya,” tandasnya.
Kelima, pekerja kontrak dan outsourching atau PKWT yang masa kerjanya berakhir sesuai jangka waktu pada kontrak kerja tidak mendapatkan manfaat JKP.
Artinya, Buruh hanya akan mendapatkan manfaat JKP apabila PHK dilakukan sebelum berakhirnya jangka waktu PKWT.
“Mana ada karyawan kontrak di PHK sebelum masa kontrak kerjanya berakhir. Justru sedapat mungkin pengusaha akan memperpanjang kontrak kerja sampai batas waktu persyaratan kontrak diperbolehkan. Aturan yang tertuang pada UU No 13 tahun 2003 batas waktu kontrak diperbolehkan sampai 3 (tiga) tahun dan aturan pada UU Cipta Kerja selama 5 (lima) tahun. Setelah itu, pengusaha tidak akan memperpanjang kontrak kerja lagi agar tidak membayarkan uang pesangon,” jelasnya.
Jadi, kata Abednego, sangat sedikit kasus PHK yang dialami pekerja yang terikat sistem PKWT, karena apabila pengusaha mem-PHK Buruh sebelum berakhir masa kontrak, maka pengusaha wajib membayarkan penuh gaji karyawan sesuai sisa kontrak.
“Selama ini justru SBSI 1992 banyak menemukan kasus Buruh dipekerjakan tanpa ikatan kerja atau tidak dibuatkan Perjanjian Kerja dan sering disebut dengan istilah Karyawan Lepas atau Buruh Harian Lepas (BHL),” pungkasnya.
Karyawan Lepas, katanya, banyak ditemukan di Hotel-hotel berbintang, yang bekerja sebagai pemandu Karaoke, SPA, Terapis Massage dan Salon, sedangkan BHL banyak ditemukan di Perkebunan-perkebunan.
Keenam, Manfaat JKP hilang apabila buruh tak klaim lebih dari 3 bulan usai di PHK. Aturan ini menurut Abednego sangat rancu.
Pasalnya, di satu sisi dibuat persyaratan batas waktu mengklaim manfaat JKP setelah di PHK hanya 3 (tiga) bulan saja, sementara di sisi lain proses Bipartit, Mediasi dan proses PHI sampai perkara incraht bisa memakan waktu sampai 2 (dua) tahun.
“Ini kan persyaratan yang membingungkan, tiga bulan setelah incraht kah atau tiga bulan sejak di PHK?” tanya dia.
Ditambahkannya, selain persyaratan-persyaratan tersebut, masih ada persyaratan lain yang membingungkan. Karena itu, katanya, SBSI 1992 menilai Program JKP ini dibuat tanpa kajian dan tidak melibatkan partisipasi publik atau meminta masukan dari para Serikat Buruh.
“Program JKP ini terkesan dipaksakan. Kesannya abal-abal dan diduga dibuat hanya untuk menutupi dosa-dosa yang telah mengkebiri hak dan kepentingan Buruh sebagaimana diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” tutupnya (*)