Oleh : Prof Dr Muchtar B Pakpahan SH MA
Salam solidaritas…
Izinkan saya membagi analisis saya atas RUU Cipta Kerja yang disahkan pada 5 Oktober 2020, dengan versi yang kami peroleh dari Baleg DPR RI pada Sabtu 9 Oktober 2020. Versi terakhir memiliki 1028 halaman.
Untuk membantu pembaca, di versi terakhir yang kami terima, klaster ketenagakerjaan dimulai dari Bab IV Ketenagakerjaan Pasal 88 (hlm. 553) sampai Pasal 92 (hlm. 581).
Berikut adalah topik-topik penting dalam UU ini yang akan membuat buruh menderita.
- Keseluruhan UU Cipta Kerja.
Secara keseluruhan materi pengaturan dari UU Ciptaker ini adalah berisi ketentuan yang tujuannya untuk memudahkan berinvestasi. Dalam rangka memudahkan berinvestasi, terjadi ancaman pelanggaran Hak Asasi Manusia yang bila dikaitkan dengan alinea 4 Pembukaan UUD NRI 1945 yang lebih lanjut penjabarannya dalam Pasal 1 (3), Pasal 28, Pasal 27 (2), Pasal 33 UUD NRI 1945.
Menurut hemat saya, berdasarkan isinya, judul atau nama yang lebih tepat untuk undang-undang ini adalah Undang-Undang tentang Kemudahan Berinvestasi.
- Menjadi Buruh Kontrak Selama Bekerja.
Pasal 89 Butir 12 UU Ciptaker menyatakan “Ketentuan Pasal 59 [UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan] dihapus. “Pasal 59 UU Ketenagakerjaan berbunyi: “PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.”
Dengan dicabutnya Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, berarti tidak ada lagi pembatasan masa waktu status buruh kontrak, atau akan menyandang status buruh kontrak (kuli kontrak istilah Bung Karno) selama bekerja. Sistem ini oleh Bung Karno disebut d’exploitation d’lhome par lhome (penghisapan darah manusia oleh manusia) dan sistem ini sebagai anak kandung kapitalis harus dihapus dari bumi Indonesia.
- Memberlakukan Outsourcing di Semua Bidang Kerja.
Pasal 89 UU Ciptaker butir 16 dan 17 menyatakan : (16) “Ketentuan Pasal 64 [UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan] dihapus; (17) Ketentuan Pasal 65 [UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan] dihapus.
Padahal Pasal 65 (2) UU Ketenagakerjaan berbunyi: “Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi kerja;
- merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
- tidak menghambat proses produksi secara langsung.”
Pasal 65 (2) UU Ketenagakerjaan adalah jaminan bahwa tidak semua bidang kerja dapat di”outsourcing”kan (bhs. Inggris: outsource=mempekerjakan pegawai kontrak dari perusahaan lain di tempatnya bekerja karena bukan core bisnisnya). Hanya pekerjaan yang tidak ada hubungan dengan kegiatan utama atau core bisnis yang bisa dilakukan dengan sistem outsourcing. Dengan UU Ciptaker, semua tugas sudah dapat di”outsourcing”kan serta tanpa batas waktu.
UU Ciptaker memperluas kesempatan outsourcing atau aannemer (bhs. Belanda) bahkan UU Ciptaker membuka kesempatan bagi semua pekerjaan untuk di”outsourcing.
Sekali outsourcing akan menjadi outsourcing selama Buruh bekerja. Menurut Bung Karno, aannemer adalah salah satu sistem perbudakan kapitalis yang harus dihapus dari bumi Indonesia.
- Tidak Ada Jaminan Perlindungan Upah.
Pasal 89 Butir 24 melakukan perubahan berisi penghilangan perlindungan upah buruh, dan selanjutnya mengatur bahwa upah minimum ditentukan Gubernur (Pasal 89 Butir 24.c.(1)) berdasarkan rumus UMt+1 = UMt+ (UMt x %PEt) (Pasal 89 Butir 24.d.(1)) dengan dilanjutkan penghapusan ketentuan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu Pasal 89 (dihapus di Pasal 89 Butir 25 UU Ciptaker), Pasal 90 (dihapus di Pasal 89 Butir 26 UU Ciptaker) dan Pasal 91 (dihapus di Pasal 89 Butir 25 UU Ciptaker).
Padahal pasal 89 (3) UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan berbunyi: “Upah minimum (diarahkan pencapaian kebutuhan hidup layak) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan.”
Serta Pasal 90 (1) UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan berbunyi: “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Bila dilakukan ada pidananya 4 (empat) tahun sesuai pasal 185 UU Ketenagakerjaan.”
Dan, Pasal 91 (1) UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan berbunyi: “Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau SP/SB tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dengan penghapusan ketiga pasal di atas, tidak ada lagi peran tripartit (pengusaha, pemerintah, dan buruh), seperti sekarang. Gubernur dimungkinkan untuk berunding hanya dengan KADIN-APINDO tanpa representasi buruh. Bahkan, tidak terdapat sanksi bagi pengusaha yang membayar upah di bawah UMP. Padahal, perundingan upah adalah satu tugas/fungsi penting dari serikat buruh.
- PHK dan Pesangon.
Pasal 89 Butir 38 UU Ciptaker tidak mengikutsertakan menghilangkan Pasal 151 (1) UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi: “Pengusaha, pekerja/buruh, SP/SB dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK.”
Kemudian putusan MK dalam Putusan MK No: 012/PUU-I/2003 dan 19/PUU-X/2011 melarang PHK kecuali karena melakukan pelanggaran berat dan perusahaan tutup. Kehadiran Pasal 89 Butir 38 UU Ciptaker ini memudahkan PHK sepihak dengan kerugian di pihak buruh.
Karena itu, kami menduga bahwa UU Cipta Kerja akan membawa penderitaan bagi buruh, petani dan nelayan, dan menghasilkan ketidakadilan sosial, memperlebar jurang antara orang kaya dengan orang miskin.
UU Cipta Kerja adalah pengkhianatan terhadap konstitusi khususnya tujuan nasional alinea 4 Pembukaan UUD NKRI 1945 dan penjabarannya dalam Pasal 1 (3), Pasal 27 (2), Pasal 28, dan Pasal 33.
Oleh karena itu, (K) SBSI akan menempuh langkah melakukan uji materi terhadap 5 topik di atas dengan menguji tiap-tiap topik (Penulis adalah Ketua Umum Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K) SBSI)