Penulis: Marjuddin Nazwar
Jakarta, PERISTIWAINDONESIA.com |
Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Prof DR Budi Djatmiko (foto), membeberkan beberapa poin mengapa masyarakat Indonesia masih kurang minat melanjutkan pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi.
Saat ini hanya sekitar 6 persen penduduk Indonesia yang baru mengenyam pendidikan tinggi.
Budi memaparkan masalah pertama yakni tantangan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi yang rendah, serta daya saing lulusan memang perlu disikapi secara sinergi oleh para pemangku kepentingan, yakni perguruan tinggi, masyarakat, industri dan pemerintah.
Informasi yang saya peroleh dari Dirjen Dukcapil, pada tahun 2022 dari jumlah tersebut hanya 6,41 persen yang sudah mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Rinciannya, yang berpendidikan D1 dan D2 proporsinya 0,41 persen, kemudian D3 sejumlah 1,28 persen, S1 sejumlah 4,39 persen, S2 sejumlah 0,31 persen, dan hanya 0,02 persen penduduk yang sudah mengenyam pendidikan jenjang S3,” kata Budi, Selasa, (11/10/2022).
Selain itu poin kedua kemampuan ekonomi masyarakat Indonesia yang akhirnya menjadikan pendidikan nomor dua, karena ada masalah ekonomi dan kesehatan yang harus diutamkan dahulu.
“Sangat sulit bahkan Indonesia adalah negara yang memiliki hutang yang sangat banyak sehingga pendidikan bukan mejadi prioritas negara,” ujarnya.
Ketiga adalah APBN Indonesia yang secara UUD mewajibkan 20 persen APBN masuk ke pendidikan, namun hanya sekitar 13 persen yang masuk ke pendidikan.
Lalu yang keempat hampir semua pemimpin negara dan pemimpin daerah baik gubernur, wali kota, dan bupati enggan menjadikan pendidikan prioritas utama dalam program kerjanya.
Karena efeknya sangat lama, hasilnya tidak terlihat langsung oleh masyarakat dalam jangka waktu yang pendek, beda dengan pembangunan jalan tol dan bangunan fisik lainnya, akan terlihat langsung,” kata dia.
Selain itu masyarakat yang mampu tidak memiliki kesadaran untuk membantu sesama, termasuk banyak perusahaan besar tidak pernah mengeluarkan Corporate Social Responsibility (CSR) untuk beasiswa pada masyarakat disekitar pabrik atau perusahaan itu berdiri.
“Mahalnya biaya pendidikan dibandingkan pendapatan perkapita masyarakat Indonesia, walaupun biaya pendidikan negara kita masih sangat murah dibandingkan dengan negara-negara lain,” jelasnya.
Wajib pendidikan di Indonesia masih wajib belajar 12 tahun, namun kenyataanya pemerintah belum mampu memberikan sangsi kepada kepala keluarga atau masyarakat yang belum menyekolahkan hingga 12 tahun atau setara SLTA.
“Jika saja pemerintah konsisten dengan wajib belajar 12 tahun maka akan banyak tumbuh sekolah dan kampus yang ramai anak-anak Indonesia sekolah, dan akhirnya APK masuk perguruan tinggi akan semakin banyak,” ucapnya.
Data Dukcapil sampai Juni 2022 penduduk Indonesia yang berpendidikan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) ada sebanyak 20,89%. Kemudian yang berpendidikan hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebanyak 14,54%. Sementara itu 23,4% penduduk Indonesia merupakan tamatan Sekolah Dasar (SD).
“Ada pula 11,14% yang belum tamat SD, dan penduduk yang tidak sekolah/belum sekolah mencapai 23,61%. Berikut rincian jumlah penduduk Indonesia menurut jenjang pendidikan per Juni 2022 : S3 : 61.271 jiwa; S2: 855.757 jiwa; S1: 12.081.571 jiwa; D3: 3.517.178 jiwa; D1 dan D2: 1.126.080 jiwa, SLTA: 57.533.189 jiwa; SLTP: 40.035.862 jiwa; Tamat SD: 64.446.545 jiwa; Belum Tamat SD: 30.685.363 jiwa; Tidak/Belum sekolah: 65.018.451 Jiwa,” kata dia (*)