Penulis: Arny Hisage
Jayapura, PERISTIWAINDONESIA.com |
Tim Koalisi Yalimo Menang meminta Kapolda Papua mematuhi Telegram Kapolri.
Tim Pemenangan pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Yalimo tahun 2020 nomor urut 2 Lakius Peyon dan Nahum Mabel (LA-HUM) ini mengharapkan kepolisian mematuhi Telegram Kapolri untuk menunda proses hukum para calon kepala daerah pada pilkada serentak 2020 lalu.
Hal ini disampaikan Ketua Tim Koalisi Yalimo Menang Alexander Walilo, Selasa (02/11/2021) di Jayapura.
Dijelaskannya, Surat Telegram Kapolri Nomor: ST/2544/VIII/RES.1.24./2020 tertanggal 31 Agustus 2020 mengenai proses Lidik/Sidik terhadap Bakal Calon/calon peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati /atau Wali kota dan Wakil Wali Kota tahun 2020 yang diduga melakukan tindak pidana agar ditunda.
“Kami harapkan tidak ada lagi upaya pemanggilan dan upaya hukum lain yang mengarah ke persepsi mendukung salah satu bakal calon,” ujar Alexander Walilo.
Menurutnya, aturan penundaan proses hukum peserta Pilkada itu mengacu pada UU No 8 tahun 1981 tentang KUHAP jo UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri, sehingga tugas Kapolda Papua adalah sebagai penegak hokum.
“Tetapi, mengapa Kapolda Papua tidak menegakkan Hukum dan tidak menaati surat telegram Kapolri? Padahal, surat tersebut merupakan wujud dan komitmen Kapolri dalam menegakkan netralitas pelaksanaan Pilkada Serentak tahun 2020. Oleh sebab itu, kami Tim Koalisi Yalimo Menang yang terdiri dari 10 partai politik dan semua pendukung Lakius Peyon dan Nahum Mabel (LA-HUM) meminta kepada Kapolda Papua segera menghentikan diskriminalisasi dan intimidasi terhadap Calon Bupati Yalimo Lakius Peyon dan harus dibebaskan tanpa syarat,” pinta Alexander Walilo.
Lanjut Alexander, jika Kapolda Papua mengatakan penahanan dan penetapan status tersangka terhadap Lakius Peyon karena alasan pidana korupsi, maka kenapa Sekda Kabupaten Yalimo Isak Yando tidak ditahan dan turut serta ditetapkan status sebagai tersangka?
“Karena Isak Yando adalah pelaku utama yang mengatur dan membayar uang satu miliar itu kepada kelompok masyarakat dan disaksikan oleh semua pihak di ibu kota Elelim kabupaten Yalimo,” tandasnya.
Selain itu, kata Alexander, mengapa Kapolda Papua pilih bulu dalam penegakan Hukum? Pasalnya, para pelaku pendukung Paslon Nomor urut 1 Erdi Dabi dan Jhony Wilil yang menghancurkan aset negara dan berbagai fasilitas umum lainnya di Elelim belum ditahan dan dijebloskan ke dalam penjara.
“Pembakaran dan penghancuran aset-aset negara berupa 34 Kantor-kantor pemerintahan, 126 ruko, 129 kendaraan dan sejumlah rumah milik pendukung Lakius Peyon dan Nahum Mabel, termasuk pengrusakan jembatan jalan trans Jayapura-Wamena belum dituntaskan sampai keakar-akarnya, padahal akibat kerusakan ini nilai kerugian negara mencapai Rp324 miliar, seperti diumumkan oleh Kapolda Papua sendiri pada tanggal 5 Juli 2021 di berbagai media massa,” terangnya.
Menurut Alexander, pihaknya juga merasa aneh menyaksikan Kapolda Papua berkunjung ke Elelim melihat kerusakan kota dan bertemu dengan pendukung Paslon nomor urut 1 serta menerima aspirasi mereka.
“Tetapi, mengapa Kapolda Papua tidak melakukan hal yang sama kepada massa pendukung La-Hum? Mengapa Polda Papua justru menarik BKO Brimob keluar dari Elelim sebelum putusan MK tanggal 29 Juli 2021? Dan mengapa Kapolda Papua tidak menangkap dan tidak mengadili pelaku-pelaku kerusuhan di Elelim?” sesalnya.
Karena itu, Alexander menilai Kapolda Papua gagal mengatasi konflik Pilkada di Kabupaten Yalimo.
“Kami dari Tim Koalisis Yalimo Menang, dimana Parpol pendukung LA-HUM adalah mayoritas menguasai kursi DPRD Yalimo berharap kepada Kapolda Papua untuk mematuhi Telegram Kapolri mengenai Pemilu dan segera mebebaskan Lakius Peyon tanpa syarat,” tutup Alexander (*)