Penulis: Marjuddin Nazwar
Jayapura, PERISTIWAINDONESIA.com |
Ketua Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hasegem menyesalkan penanganan tidak profesional terhadap pasien patah tulang di RS Dok II Propinsi Papua di Jayapura.
“Kata dokter Rumah Sakit Umum Dok II Papua tidak ada alat operasi tulang dan dokternya di Rumah Sakit tersebut, sehingga pihak Rumah Sakit merujuk pasien berobat ke Rumah Sakit Bhayangkara Kota Raja, karena disitulah menurut mereka lengkap alat-alatnya,” sesal Theo Hasegem, Sabtu (17/12/2022) di Jayapura.
Diterangkannya, beberapa bulan yang lalu sejak dari Oktober 2022, Yontinus Kogoya mengalami luka tembak dibagian lutut di Yahukimo, kemudian dari rumah sakit Yahukimo dia dirujuk ke Rumah Sakit Umum Wamena.
“Beberapa hari ia di tahan di lapas klas II B Wamena, karena ia mengalami sakit, sehingga petugas lembaga berupaya mengantarkannya ke rumah sakit Umum Wamena. Beberapa hari pasien mejalani pengobatan di Rumah Sakit Umum Daerah Wamena, karena tidak ada alat untuk di operasi bagian luka tembak, lalu pihak Rumah Sakit memberikan rujukan dan surat layak terbang, surat rujukan tersebut ditujukan ke Rumah Sakit Dok II Provinsi Papua di Jayapura,” jelasnya.
Selanjutnya, pada 15 Desember 2022, Yontinus Kogoya diberangkatkan ke Jayapura untuk operasi.
Pasien yang didampingi pihak keluarganya dan di kawal oleh Petugas Lembaga dan pihak Rumah Sakit Umum Wamena sekitar pukul 15:25 WIT berangkat dari Wamena, menuju ke Jayapura dan langsung menuju ke Rumah Sakit Umum Dok II Jayapura Provinsi Papua.
Ketika tiba di Rumah Sakit Dok II, kata aktivis Pembela HAM ini, kemudian pasien dan keluarga serta petugas lapas dan pihak Rumah Sakit bertemu dengan petugas dan Dokter.
“Sebenarnya keluarga dan pasien sangat mengharapkan agar saudara Kogoya di operasi di Rumah Sakit Dok II. Namun Dokter Rumah Sakit menyampaikan bahwa rumah sakit tidak memiliki alat operasi, yang ada alat untuk operasi hanya di Rumah Sakit Bhayangkara di Kota Raja Jayapura. Lalu Dokter menyarankan pasien untuk dirujuk ke Rumah Sakit Bhayangkara Kota Raja, karena menurut dokter alat sangat lengkap dari pada di Rumah Sakit Dok II,” tutur Theo Hasegem.
Dilanjutkannya, karena Dokter mengatakan demikian, maka pihak keluarga sepakat untuk pindah membawa pasien ke Rumah Sakit Ropita.
Tiba di Rumah Sakit tersebut, pihak keluarga mengecek biayanya memang sangat mahal hampir Rp200.000.000 (Dua Ratus Juta Rupiah).
Karena ketidakmampuan keluarga untuk membayar nilai uang tersebut, kemudian pihak keluarga memilih pindah ke Rumah Sakit Dian Harapan di Waena.
Tiba di Waena, petugas menyampaikan bahwa Dokter sedang cuti dan pulang ke kampung halamannya, sehingga pasien tidak bisa ditangani.
Terpaksa Masuk RS Bhayangkara
Oleh karena beberapa Rumah Sakit di Jayapura sebagian memiliki alat operasi, namun mahal biayanya, yang lain dokternya cuti ke kampung halamannya, rumah sakit Dok II tidak ada alat dan Dokter untuk melakukan tindakan operasi, maka terpaksa Pasien diantar ke Rumah Sakit Bhayangkara di Kota Raja Jayapura.
Setelah dikomunikasikan antara petugas lembaga dan pasien, bahwa memang rumah sakit tersebut bisa melakukan tindakan operasi, namun biayanya mencapai Rp75.000.000 (Tujuh Puluh Lima Juta Rupiah).
“Setelah saya komunikasikan dengan Dokter Rumah Sakit Bhayangkara melalui telepon selulernya, ia sampaikan bahwa pihak Rumah Sakit siap untuk melakukan tindakan operasi, tetapi biayanya sekitar Rp75.000.000,- Dan untuk biaya awal atau deposit sekitar Rp35.000.000.00 (Tiga puluh lima juta rupiah),” terang Theo Hasegem.
Mendengar biaya sebesar itu, kata Theo Hasegem, dirinya sebagai pembela HAM tidak bisa berkutik lagi.
Dengan nilai biaya sebesar itu, Theo Hasegem bersama pihak keluarga pasien memilih beberapa hari agar pasien bisa tinggal di LP setempat, menunggu mereka mencari biaya sesuai yang disampaikan oleh Dokter.
“Memang saya melihat keluarga tidak mampu menanggulangi semua biaya ini, sehingga saya sebagai pembela HAM, sebagai Pekerja kemanusiaan berusaha berkomunikasi dengan teman-teman untuk diberangkatkan ke Jayapura, namun untuk Operasi saya tidak berpikir bagaimana biayanya, apalagi akan membengkak seperti ini. Maka itu, saya bersama teman-teman hanya tangung uang tiket dari Wamena ke Jayapura saja,” ungkapnya sedih.
Menurutnya, kemungkinan besar pasien akan dititip di lembaga Rumah Tahanan Abe di Jayapura, karena statusnya Narapidana dan masih di bawah binaan Lembaga Wamena.
“Apabila kami ada berkat atau uang yang saya sebutkan di atas mungkin akan di antar ke Rumah Sakit Bhayangkara, saya berharap Tuhan Yesus sebagai Pembela HAM sedunia akan turut campur tangan. Semoga bisa mendatangkan berkat demi kemanusiaan,” harapnya.
Pernyataan RS Membingungkan
Mencermati kronologis perjalanan keluarga dan pihak yayasan, Theo Hasegem mempertanyakan beberapa hal di bawah ini:
1. Apakah memang Rumah Sakit besar di Provinsi Papua, yang dibiayai oleh Negara, memang tidak memiliki alat untuk melakukan tindakan Operasi tulang?
2. Ataukah memang ada alat, tetapi Dokter tidak mau menanganinya dan atau sedang malas, lalu dokter merujuknya ke rumah sakit Bhayangkara?
3. Saya tidak paham dan mengerti sikap, dokter yang tidak memiliki toleransi, terhadap pasien.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka Theo Hasegem menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Saya sebagai pembela HAM di Papua sangat mengharapkan kepada Pemerintah Provinsi Papua untuk segera memanggil Dokter tersebut dan mengevaluasi fasilitas Rumah Sakit dan segera melengkapi alat operasi yang kurang.
2. Saya berharap tidak terjadi indikasi baku tibu terhadap Pasien oleh pihak Rumah Sakit di Dok II Jayapura.
“Mengingat beberapa waktu lalu telah terjadi aksi unjuk rasa oleh tenaga kesehatan RSUD Propinsi Papua di Dok II Jayapura, akibat menunggaknya gaji nakes RSUD yang dikabarkan tidak digaji hingga 6 bulan, belakangan juga dr Anton Mote selaku Direktur RSUD Propinsi Papua dilaporkan ke Kejati Papua karena dugaan penggelapan dana Rp2,5 Milyar yang seharusnya dibayarkan sebagai honor petugas KPA (Komisi Penaggulangan AID),” ujarnya
Selanjutnya, Theo Hasegem berharap pihak RSUD Propinsi Papua tidak main-main dengan keselamatan rakyat Papua, karena Dana Otsus itu untuk seluruh rakyat Papua, dan bukan hanya untuk para elit yang dekat dengan kekuasaan Lukas Enembe saja.
“Saya selaku penggiat HAM sangat prihatin karena dr Anton Mote selaku Direktur RSUD Propinsi Papua selama ini hanya sibuk mengurusi RS Pribadi Lukas Enembe yang ada di Koya Tengah. Di saat pasien Orang Asli Papua perlu penanganan medis yang memadai, justru peralatan medis RSUD dipindahkan ke RS Pribadi milik Lukas Enembe di Koya Tengah,” tutup Theo Hasegem dikutip media ini sesuai RELIS BERITA yang dikirimkannya ke redaksi (*)