Oleh : Abednego Panjaitan
Merujuk pada aksi penolakan UU Cipta Kerja Omnibus Law Klaster Ketenagakerjaan oleh Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia atau (K) SBSI pimpinan Prof Dr Muchtar Pakpahan SH MA, dimana ribuan massa (K) SBSI turun ke jalan pada tanggal 8 Oktober 2020 telah menuai pro dan kontra dari masyarakat luas.
Ada yang menuduh Serikat Buruh sebagai provokator dan dalang atas kerusuhan yang terjadi. Tapi banyak juga yang mendorong kami untuk terus berjuang. Maka untuk menjawab situasi yang kurang menyejukkan tersebut, saya menulis sedikit alasan mengapa SBSI 1992 menolak Omnibus Law Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan itu.
Berdasarkan penelitian dan pengkajian Federasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992 sebagai salah satu Federasi dari Konfederasi SBSI, bahwa UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan akan dapat merugikan Buruh Indonesia ke depan, karena UU ini telah menjadi “Pintu” bagi perbudakan di Indonesia.
Berikut alasan-alasan penolakan kami terhadap penetapan UU Omnibus Law Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan tersebut :
Pertama, Berkurangnya Hak Pesangon
Uang Pesangon memang tidak dihapus, namun komponen Pesangon dikurangi dari 32 Kali Upah menjadi 25 Kali Upah. Dimana 19 Kali Upah dibebankan kepada Pengusaha dan 6 Kali Upah dibayarkan oleh BPJS.
Menurut kami, pernyataan Pemerintah yang menyebutkan Pesangon 6 bulan dibayarkan oleh BPJS harus dikaji lebih dalam lagi. Hal ini sangat aneh. Pasalnya, acap kali BPJS mengklaim Perusahaan Plat merah tersebut devisit. Jikalau Bercermin dari kasus-kasus sebelumnya, pihak BPJS kerap kali menyatakan tidak mempunyai anggaran lagi, padahal pemilik uang di BPJS adalah Buruh itu sendiri. Konon lagi jika BPJS disuruh untuk membayar Pesangon kepada Buruh.
Kedua, BPJS Berpeluang Jadi Lawan Buruh
Apabila BPJS 6 (enam) kali membayar Pesangon Buruh, maka pertanyaannya ialah darimana uang untuk membayar uang Pesangon itu? Ini sama halnya, secara hukum Buruh akan menjadi lawan atau seteru BPJS karena tuntutan uang Pesangon tersebut. Ini sangat berbahaya. Buruh menjadi seteru dari lembaga yang mengelola uangnya sendiri sehingga mengganggu Hubugan baik yang telah dibina selama ini.
Ketiga, Pemberhentian Kontrak Kerja
Adanya kemudahan untuk memutuskan Perjanjian Kerja, dimana Kontrak dapat diputus secara tiba-tiba, ketika pekerjaan dinilai telah selesai, sekalipun masih dalam masa kontrak yang telah disetujui bersama.
Pembahasan tersebut tertulis pada pasal 61 ayai 1 huruf c, “perjanjian kerja berakhir apabila: selesainya suatu pekerjaan tertentu”.
Keempat, Upah Diperkecil
Di dalam pasal 81 poin 26 dan 27 UU Cipta Kerja, disebutkan mengenai penghapusan ketentuan pasal 89 dan 90 pada UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berbunyi: “upah minimum diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak yang ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Propinsi/Bupati/Walikota, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum”.
Artinya, bahwa Buruh/Pekerja bisa saja mendapatkan penghasilan yang lebih rendah dari Upah Minimum dan dari penghasilan yang diperolehnya.
Upah Minimum Provinsi (UMP) memang tidak dihilangkan, namun Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dapat ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan syarat tertentu yaitu kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, yang meliputi pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi pada Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Artinya, UMK tidak akan maksimal lagi seperti selama ini, karena adanya peranan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota dan gelombang aksi perlawanan Pekerja/Buruh pada tingkat Dewan Pengupahan Kabupaten Kota.
UMK ke depannya tergantung usulan Bupati/Walikota setelah mendapatkan penetapan dari Gubernur. Dengan ketentuan ini, maka upah yang diterima Pekerja/Buruh bakal mengecil karena ditetapkan hanya berdasarkan standar UMP dan menghilangkan standar UMK di tingkat Kabupaten/Kota.
Padahal, penerapan UMK sangat membantu Buruh yang bekerja di tingkat Kabupaten/Kota. Pasalnya, UMK di tingkat Kabupaten/Kota selama ini selalu lebih tinggi dibandingkan UMP di tingkat Propinsi. Karena UMP ditetapkan sebagai standar penentuan upah terendah di tingkat Propinsi, sementara UMK sebagai standar penetapan upah di tingkat Kabupaten/Kota.
Sebagai Contoh, UMP Sumatera Utara tahun 2019 ditetapkan sebesar Rp.2.303.402,00 (dua juta tiga ratus tiga ribu empat ratus dua) per bulan. Namun UMK Kota Medan Tahun 2019 ditetapkan sebesar Rp.2.969.824,00 (dua juta sembilan ratus enam puluh sembilan ribu delapan ratus dua puluh empat) per bulan.
Artinya, ada selisih penerimaan sebesar Rp.666.422,00 (enam ratus enam puluh enam ribu empat ratus dua puluh dua). Tapi, jika sudah memakai UMP, maka Pekerja/Buruh di Kota Medan hanya menerima upah lebih naik sedikit dari Rp.2.303.402,00 karena syarat tertentu yaitu kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, yang meliputi pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi pada Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Kelima, Pemberlakuan Upah Per Jam
Adanya klausul berdasarkan satuan hasil dan waktu. Upah satuan hasil adalah upah yang ditetapkan berdasarkan satu waktu seperti harian, mingguan atau bulanan.
Sementara upah satuan hasil adalah upah yang ditetapkan berdasarkan hasil dari pekerjaan yang telah disepakati.
Dengan upah standar satuan waktu, akan memungkinkan penerapan upah yang dihitung satuan waktu jam (upah per jam).
Keenam, Hak Istirahat dan Hak Cuti
Hak cuti memang masih ada, tetapi dikurangi dan dengan syarat ketat. Misalnya, cuti haid hari pertama dan kedua bagi pekerja wanita dihilangkan, sebelumnya diatur dalam pasal 81 UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Hak cuti panjang selama 2 bulan bagi Pekerja/Buruh yang sudah bekerja selama 6 tahun secara terus menerus dihilangkan, dan menyerahkan aturan itu kepada perusahaan dan atau perjanjian kerja sama yang disepakati. Tentu saja, posisi tawar pekerja menjadi lemah dan pasal ini sama saja menghilangkan selama 2 bulan bagi Pekerja/Buruh yang sudah bekerja selama 6 tahun.
Cuti hamil, cuti menyusui dan cuti menjalankan ibadah tidak diatur secara limitatif. Hal mana, tentu saja menghilangkan hak pekerja dan jaminan UU untuk mendapatkan hak tersebut. Ini sama saja menghilangkan hak cuti hamil, menyusui, dan ibadah dan jika tetap dilakukan oleh pekerja dapat menjadi dasar terbitnya surat peringatan dan keputusan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada pekerja.
Ketujuh, Menjadi Buruh Kontrak Selama Bekerja
Pasal 89 Butir 12 UU Ciptaker menyatakan “Ketentuan Pasal 59 [UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan] dihapus. “Pasal 59 UU Ketenagakerjaan berbunyi: “PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.”
Dengan dicabutnya Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, berarti tidak ada lagi pembatasan masa waktu status buruh kontrak, atau akan menyandang status buruh kontrak (kuli kontrak istilah Bung Karno) selama bekerja. Sistem ini oleh Bung Karno disebut d’exploitation d’lhome par lhome (penghisapan darah manusia oleh manusia) dan sistem ini sebagai anak kandung kapitalis harus dihapus dari bumi Indonesia.
Kedelapan, PHK Sepihak
Di dalam pasal 151 UU No 13 tahun 2003 mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada Buruh/Pekerja yang melanggar Peraturan Perusahaan dihapus. Maka dengan penghapusan aturan tersebut, Pengusaha akan dapat memutuskan hubungan kerja secara sepihak tanpa berunding dengan Buruh/Pekerja.
Apalagi alasan PHK berdasarkan UU Cipta Kerja Pasal 154A, bahwa pemerintah memperluas alasan PHK menjadi 14 alasan antara lain : (1). Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan (2). Perusahaan melakukan efisiensi (3). Perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama dua tahun (4). Perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur) (5). Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang (6). Perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga (7). Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh (8). Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri (9). Pekerja/buruh mangkir selama Lima hari kerja atau lebih secara berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis (10). Pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (11). Pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib (12). Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas dua belas bulan (13). Pekerja/buruh memasuki usia pension (14). Pekerja/buruh meninggal dunia.
Kesembilan, Outsourcing Disemua Bidang Kerja
Untuk peraturan dan syarat-syarat tentang outsourcing dihapus, sehingga outsourcing dilakukan bebas syarat. Hal ini dapat dilihat pada pasal 81 yang menyebutkan ketentuan pasal 64 dan 65 yang berbunyi: “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis,” telah dihapus, sehingga tidak ada batasan mengenai jenis pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan produksi.
Syarat outsourcing (alih daya) semakin dipermudah. UU Cipta Kerja memungkinkan lembaga outsourcing untuk mempekerjakan Buruh/Pekerja untuk berbagai tugas, termasuk Buruh/Pekerja lepas dan pekerja penuh waktu. Hal ini akan membuat penggunaan tenaga alih daya semakin bebas.
Pasal 89 UU Ciptaker butir 16 dan 17 menyatakan : (16) “Ketentuan Pasal 64 [UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan] dihapus; (17) Ketentuan Pasal 65 [UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan] dihapus.
Padahal Pasal 65 (2) UU Ketenagakerjaan berbunyi: “Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi kerja;
- merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
- tidak menghambat proses produksi secara langsung.”
Pasal 65 (2) UU Ketenagakerjaan adalah jaminan bahwa tidak semua bidang kerja dapat di”outsourcing”kan (bhs. Inggris: outsource=mempekerjakan pegawai kontrak dari perusahaan lain di tempatnya bekerja karena bukan core bisnisnya). Hanya pekerjaan yang tidak ada hubungan dengan kegiatan utama atau core bisnis yang bisa dilakukan dengan sistem outsourcing. Dengan UU Ciptaker, semua tugas sudah dapat di”outsourcing”kan serta tanpa batas waktu.
UU Ciptaker memperluas kesempatan outsourcing atau aannemer (bhs. Belanda) bahkan UU Ciptaker membuka kesempatan bagi semua pekerjaan untuk di”outsourcing.
Kesepuluh, Tidak Ada Jaminan Perlindungan Upah
Status karyawan tetap masih ada, namun UU Omnibus Law Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan membuka opsi PKWT seumur hidup dengan menghapus ketentuan pasal 59 UU ketenagakerjaan. Akibatnya, dipastikan perusahaan akan mengambil opsi PKWT (Karyawan Kontrak). Sama artinya, bahwa Tenaga Kontrak akan berlaku seumur hidup.
“Ketentuan pasal 59 dihapus” demikian tertulis pada Bab IV Ketenagakerjaan Bagian II RUU Cipta Kerja. Di pasal tersebut Buruh yang bekerja di suatu Perusahaan agar bisa diangkat menjadi Karyawan Tetap setelah bekerja dalam periode maksimal paling lama 2 tahun, dan di perpanjang 1 kali untuk 1 tahun ke depan.
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,” bunyi Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003.
Penghapusan ketentuan pasal 59 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur ketentuan mengenai karyawan kontrak (PKWT), kami prediksi akan menjadi bencana besar bagi Buruh. Karena Pesangon hanya diberikan kepada Karyawan Tetap (PKWTT) saja dan tidak berlaku bagi Karyawan Kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Artinya, penerapan sistem kontrak seumur hidup, menjadikan pekerja tidak akan mendapatkan Pesangon lagi.
Sejalan dengan itu, Fakta yang kami hadapi selama ini, pihak Pengusaha berusaha keras mengalihkan Karyawan mereka dari Karyawan Tetap menjadi Karyawan Kontrak. Hal ini dilakukan mereka supaya Perusahaan tidak lagi membayar uang Pesangon kepada Karyawan yang akan diberhentikan dari pekerjaannya.
Ratusan ribu Karyawan di Batam, Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya, Makassar, Bandung dan daerah lainnya dijadikan sebagai Karyawan Kontrak. Dari pada menganggur, maka Buruh terpaksa menerima kenyataan pahit itu. Dan fakta inilah yang menjadi ajang keributan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha di seluruh Indonesia.
Pasal 89 Butir 24 melakukan perubahan berisi penghilangan perlindungan upah buruh, dan selanjutnya mengatur bahwa upah minimum ditentukan Gubernur (Pasal 89 Butir 24.c.(1)) berdasarkan rumus UMt+1 = UMt+ (UMt x %PEt) (Pasal 89 Butir 24.d.(1)) dengan dilanjutkan penghapusan ketentuan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu Pasal 89 (dihapus di Pasal 89 Butir 25 UU Ciptaker), Pasal 90 (dihapus di Pasal 89 Butir 26 UU Ciptaker) dan Pasal 91 (dihapus di Pasal 89 Butir 25 UU Ciptaker).
Padahal pasal 89 (3) UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan berbunyi: “Upah minimum (diarahkan pencapaian kebutuhan hidup layak) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan.”
Serta Pasal 90 (1) UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan berbunyi: “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Bila dilakukan ada pidananya 4 (empat) tahun sesuai pasal 185 UU Ketenagakerjaan.”
Dan, Pasal 91 (1) UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan berbunyi: “Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau SP/SB tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dengan penghapusan ketiga pasal di atas, tidak ada lagi peran tripartit (pengusaha, pemerintah, dan buruh), seperti sekarang. Gubernur dimungkinkan untuk berunding hanya dengan KADIN-APINDO tanpa representasi buruh. Bahkan, tidak terdapat sanksi bagi pengusaha yang membayar upah di bawah UMP. Padahal, perundingan upah adalah satu tugas/fungsi penting dari serikat buruh.
Kesebelas, Buruh Berpeluang di Kriminalisasi
PHK akan dipermudah karena UU Omnibus Law menambah alasan PHK yang sebelumnya 9 alasan menjadi 14 alasan. Termasuk, mengadopsi PHK karyawan karena ditahan Polisi, padahal norma ini telah dibatalkan MK dimana PHK hanya bisa dilakukan pada karyawan yang telah diputus pidana dan memiliki kekuatan hukum tetap. Alasan ini membuka celah kriminalisasi terhadap Buruh/Pekerja dengan target PHK tanpa pesangon.
Keduabelas, Sebagian Sanksi Pidana Dihapus
Jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang kekuatan mengikatnya, diantaranya dengan menghapus sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam Program Jaminan Pensiun.
Pasal 89 Butir 38 UU Ciptaker tidak mengikutsertakan menghilangkan Pasal 151 (1) UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi: “Pengusaha, pekerja/buruh, SP/SB dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK.”
Inilah sebahagian permasalahan yang kami sampaikan dan menjadi persoalan besar ke depan serta penting untuk di musyawarahkan secara baik-baik. Akan tetapi, (K) SBSI dan atau Federasi SBSI 1992 tidak pernah dilibatkan Pemerintah untuk membahas RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan, pasal per pasal, sehingga mencemaskan bagi Serikat kami.
Selain banyak persoalan besar lainnya, yang selama ini menjadi momok dan bencana bagi Kaum Buruh seperti belum adanya jaminan dan kepastian hukum atas pelanggaran-pelanggaran hak normatif yang dilakukan oleh pihak Pengusaha, termasuk perilaku Pengawas Ketenagakerjaan yang kerap bermain mata dengan pihak Perusahaan.
Merujuk pada pernyataan Bapak Presiden Joko Widodo pada hari Jumat tanggal 9 Oktober 2020, kami Federasi SBSI 1992 selaku afiliasi dari (K) SBSI menyambut baik penjelasan tersebut. Akan tetapi, Bapak Presiden harus tau bahwa penjelasan Bapak Joko Widodo tersebut belumlah selaras dengan fakta yang dialami Buruh di lapangan. Menurut kami, Bapak Presiden yang cinta akan rakyatnya ini haruslah mempertimbangkan dampak UU Cipta Kerja tersebut sebagaimana kami uraikan tersebut di atas.
Oleh karena itu, kebohongan yang menyatakan bahwa keputusan tersebut telah melalui proses pembahasan yang sangat panjang bersama Serikat Buruh adalah TIDAK BENAR, karena baik Konfederasi kami pimpinan Prof Dr Muchtar Pakpahan SH MA maupun Federasi SBSI 1992 tidak pernah dilibatkan untuk membahasnya pasal per pasal.
Semoga dengan tulisan ini akan dapat menambah masukan kepada kita dalam rangka memperbaiki sistem Ketenagakerjaan yang lebih baik bagi Negara yang sangat kita cintai bersama ini (Penulis adalah Aktivis Buruh SBSI 1992).