Penulis : Sukma Panjaitan
Jakarta, PERISTIWAINDONESIA.com |
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN FHUI) menilai penyusunan Omnibus Law Undang-undang atau UU Cipta Kerja dinilai ugal-ugalan. Hal ini dinilai mulai dari perumusan Undang-undang dengan metode omnibus law hingga simpang siur naskah UU yang telah disahkan.
“PSHTN FHUI menilai bahwa proses pembentukan Undang-undang saat ini bukan lagi kotor, namun sudah sangat jorok,” kata Ketua PSHTN FHUI Mustafa Fakhri dalam keterangan tertulis, Kamis (15/10/2020) di Jakarta.
Mustafa menjelaskan, perumusan dengan metode omnibus tak dikenal dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU ini sebenarnya sempat direvisi pada 2019, tetapi metode omnibus tak termasuk materi revisi.
Kedua, Mustafa juga menyinggung adanya Satuan Tugas Omnibus Law yang tertuang dalam Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 378 Tahun 2019.
Masalahnya, Satgas ini dipimpin Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan melibatkan sejumlah pengusaha.
“Tak heran jika kemudian publik mencurigai adanya konflik kepentingan dari para pengusaha tersebut untuk terlibat mempengaruhi substansi dalam materi pengaturan RUU,” kata Mustafa.
Ketiga, Mustafa menilai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkesan bermain petak umpet sepanjang proses pembahasan pada pembicaraan tingkat I.
Ia menyebut rajinnya anggota DPR menggelar 64 kali rapat nonstop dari Senin hingga Ahad, pagi sampai malam, bahkan di masa reses juga patut dicurigai.
Keempat, Mustafa mengatakan DPR juga terkesan terburu-buru mengesahkan UU Cipta Kerja yang kontroversial tersebut.
Ia juga mempertanyakan tak dibagikannya naskah RUU yang akan disahkan kepada seluruh anggota DPR.
“Sepanjang Republik ini berdiri, rasanya baru kali ini anggota Dewan (DPR RI) celingukan saat sidang paripurna pengesahan RUU menjadi UU lantaran tidak pegang naskah final,” kata Mustafa.
Mustafa berujar, puncak segala kontroversi adalah adanya beberapa versi naskah setelah RUU disahkan menjadi undang-undang. Ada beberapa versi yang beredar, yakni 905 halaman, 1.052 halaman, 1.035 halaman, dan 812 halaman.
Tak Berdasar Tangkap Penyebar Hoaks
Oleh karena itu, Mustafa mengatakan Kepolisian Republik Indonesia tak memiliki dasar menangkap orang yang dituduh menyebarkan hoaks. Sebab sebelumnya tak satu pun warga yang mengetahui pasti versi mana yang dianggap final.
“Sangat beralasan apabila ada yang terpikir bahwa penangkapan sejumlah aktivis itu tak lain adalah semacam presidential prank,” kata Mustafa.
Baru pada Selasa, 13 Oktober lalu, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin mengonfirmasi naskah yang benar setebal 812 halaman.
Mustafa mengatakan, naskah ini pun memuat perbedaan dengan naskah setebal 1.035 halaman.
Contohnya penambahan Bab VI yang mengatur tentang Kebijakan Fiskal Nasional yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi. Jika benar terjadi penambahan substansi, Mustafa mengatakan ini merupakan pelanggaran luar biasa.
“Perubahan titik koma saja sudah bisa mengubah makna dari suatu norma pengaturan, apalagi penambahan beberapa norma baru setelah sidang paripurna pengesahan,” kata Mustafa.
Sempat Ditunda Presiden
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah mengumumkan menunda pembahasan draf Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja ini, tapi entah kenapa tiba-tiba disetujui anggota DPR RI secara diam-diam.
Padahal Jokowi telah menyampaikan kepada DPR untuk menunda pembahasan tersebut.
“Kemarin pemerintah telah menyampaikan kepada DPR dan saya juga mendengar Ketua DPR sudah menyampaikan kepada masyarakat bahwa klaster Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja ini pembahasannya ditunda, sesuai dengan keinginan pemerintah,” ujar Jokowi melalui keterangan tertulis, Jumat (24/4/2020).
Jokowi mengatakan bahwa dengan penundaan tersebut, pemerintah bersama DPR memiliki waktu yang lebih banyak untuk mendalami substansi dari pasal-pasal yang berkaitan.
“Hal ini juga untuk memberikan kesempatan kepada kita untuk mendalami lagi substansi dari pasal-pasal yang terkait dan juga untuk mendapatkan masukan-masukan dari para pemangku kepentingan,” kata Presiden (*)