Penulis : Marjuddin Waruwu
Jakarta, PERISTIWAINDONESIA.com |
Menteri Pendidikan Nadiem Makarim sepertinya belum mampu menunjukkan kebijakan dan langkah taktis dalam memajukan dunia pendidikan Indonesia seperti kepiawaiannya dalam membumikan dan mengembangkan ‘GOJEK’.
Padahal harapan Presiden Jokowi bertumpu padanya untuk memberikan oase ditengah ketertinggalan pendidikan Indonesia dibandingkan dengan negara tetangga yang sudah jauh lebih maju dalam beberapa dekade belakangan ini.
Hal ini disampaikan Pemerhati Pendidikan Tatang Sihotang SPd, Minggu (6/9/2020) di Jakarta.
Menurut Tatang, kehadiran Nadiem Makarim dijajaran Kabinet Indonesia Maju jilid dua mestinya mampu membenahi sistem pendidikan yang sarat dengan kelemahan inovasi, khususnya di bidang teknologi pendidikan.
“Hampir setahun di bawah kepemimpinannya, kinerja Kemendikbud masih jauh dari ekspektasi rakyat dan mungkin Presiden sendiri,” sesalnya.
Dalam hal seleksi penerimaan siswa baru khususnya lewat jalur mandiri, ujar Tatang, satu masalah yang dari tahun ke tahun masih terus saja menjadi momok yang menjadi kekecewaan besar bagi setiap calon mahasiswa dan orangtua, yang anaknya baru lulus SMA atau sederajat.
Bagaimana tidak, sebagian Rektor Perguruan Tinggi Negeri sepertinya tidak peka akan penderitaan rakyat ditengah pandemi corona ini, karena dengan sewenang-wenang mereka melakukan sistem penerimaan mahasiswa baru di Kampus yang mereka pimpin tanpa memperhitungkan kesulitan ekonomi sebagian rakyat kecil yang ingin masuk PTN tapi tidak punya kemampuan untuk mendafatar karena terbentur biaya pendaftaran.
“Aneh tapi nyata, beberapa PTN tega melakukan seleksi masuk hingga tiga gelombang penerimaan dengan biaya pendaftaran bervariasi, mulai Rp200.000 bahkan sampai Rp500.000 jika memilih beberapa jurusan, lalu kemana semua uang ini?” selidik Tatang.
Ironisnya, terdapat beberapa anak harus mendaftar lebih dari lima belas kali di beberapa PTN.
“Bisa dibayangkan, berapa dana yang harus dikeluarkan oleh orangtua dan anak untuk mendaftar saja, padahal belum tentu masuk. Maka bisa kita bayangkan juga bagaimana tekanan psikologis anak setiap mau membuka pengumuman pada web kampus yang didaftar, tapi berulangkali ditolak?” pungkasnya.
Tatang heran, mengapa Pemerintah, dalam hal ini pihak Kemendikbud tidak bisa mengendalikan sistem seleksi ini?
“Apakah otonomi kampus membuat Rektor sebagai penguasa kampus yang tidak bisa diintervensi kebijakannya? Padahal Undang-undang Perguruan Tinggi sangat jelas menyebutkan pengaruh bahkan hak suara mendikbud dalam pemilihan seorang Rektor PTN yakni hingga 35% hak suara,” tandasnya.
Ditambahkannya, keanehan lainnya, Pengumuman SBMPTN belum keluar, tetapi ada PTN yang sudah membuka pendaftaran ujian mandiri bahkan sudah ada yang melakukan seleksi mandiri.
“Maka tidak aneh jika seorang anak bisa lulus atau diterima di 7 PTN sekaligus karena mendaftar dan mengikuti saringan masuk sebanyak-banyaknya karena takut tidak dapat kursi. Di sisi lain, ada anak yang terus mengalami pressure karena sampai belasan kali mendaftar dan membuka pengumuman namun mendapat penolakan alias tidak diterima,” timpalnya.
Tatang bertanya, apakah antar Perguruan Tinggi Negeri tidak bisa membangun kerjasama dalam menerapkan sistem seleksi mandiri yang lebih humanis dan memudahkan Peserta untuk mengikutinya.
Sepertinya, menurut Tatang, setiap kampus adu gengsi dan ingin menunjukan bahwa mereka ingin tampil beda dan merasa lebih hebat dibandingkan kampus lainnya, namun mengorbankan calon mahasiswa dan orangtua.
“Dengan banyaknya uang yang harus dikeluarkan oleh calon mahasiwa dan orangtua untuk pendaftaran seleksi penerimaan mahasiswa baru yang sudah berlangsung dari tahun ke tahun ini, kiranya menjadikan pihak rektorat dan kampus sehat walafiat dalam menggunakan uangnya. Semoga mendikbud yang muda dan kreator ini mampu menyuguhkan inovasi terbaik dalam dunia pendidikan Indonesia dan juga mampu membangun sinergi antar-PTN dinegara yang berasaskan Pancasila,” tutupnya (*)