Penulis: Marjuddin Nazwar
Jakarta, PERISTIWAINDONESIA.com |
Ketua Lembaga Masyarakat Adat Propinsi Papua Dr Lenis Kogoya MHum menilai keputusan Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) yang mengajukan gugatan sengketa kewenangan ke Mahkamah Konstitusi (MK) adalah tindakan keliru.
“Apakah terkait gugatan ini sudah berdasarkan aspirasi masyarakat? Setahu saya, MRP tidak pernah mengajak kelompok Adat, Agama dan Perempuan duduk bersama untuk membahas ini. Padahal tugas dan wewenang MRP adalah untuk memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat Adat, Umat beragama, kelompok Perempuan dan masyarakat pada umumnya, yang menyangkut hak-hak Orang Asli Papua (OAP) dan memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya,” jelas mantan Staf Khusus Presiden ini, Selasa (22/6/2021) di Jakarta.
Oleh karena itu, menurut Lenis Kogoya, sengketa kewenangan yang diajukan MRP ke MK tersebut adalah cacat prosedur.
Menurutnya, gugatan yang diajukan MRP adalah urusan perorangan atau kemauan pribadi, bukan keputusan lembaga MRP. Pasalnya, mengenai gugatan tersebut tidak pernah dibahas oleh kelompok Adat, Agama dan Perempuan berdasarkan kewajiban MRP yang diatur dalam pasal 23 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus.
Dikatakannya, LMA akan mengecek kepada 7 (tujuh) wilayah Adat, apakah sengketa kewenangan yang diuji MRP ke MK tersebut telah melalui tahapan-tahapan yang diatur oleh Undang-Undang.
“Jikalau prosesnya telah sesuai dengan prosedur dalam pengambilan keputusan, maka itu (Uji materil) tidak masalah, namun jikalau proses pengajuan gugatan tidak melalui procedural, tanpa melibatkan masyarakat Adat, Agama dan Perempuan, maka tindakan MRP dapat dianggap melanggar Undang-Undang,” terang Tenaga Ahli Utama pada Kantor Staf Presiden (KSP) ini.
Selain itu, Lenis Kogoya juga mempertanyakan, apakah MRP telah menerima mandat dari Lembaga Adat, Lembaga Agama dan Tokoh Perempuan untuk mengajukan gugatan ke MK.
“Jikalau mandat untuk mengajukan gugatan belum ada, maka itu cacat hukum,” jelasnya.
Lebih lanjut Lenis Kogoya berpendapat bahwa MRP adalah pintu masuk atau rumah bagi masyarakat adat untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada pemerintah.
Oleh karena itu, MRP tidak boleh bertindak sendiri-sendiri atau melakukan tindakan secara pribadi sebelum mendapatkan keputusan bersama masyarakat Adat, kelompok Agama dan kelompok Perempuan.
“Jika tindakan MRP itu mewakili pribadi masing-masing, memutuskan tindakan politik secara individu dan melawan negara beserta peraturan perundang-undangan, apalagi bertindak mengatasnamakan masyarakat Papua, maka MRP akan dapat diberikan sanksi hukum dan sanksi Adat,” tandasnya (*)