Home / Headline

Minggu, 12 Desember 2021 - 19:37 WIB

ASPPA: Hak Asasi Perempuan Masih Lemah Dalam Perspektif Perlindungan Negara

Ketua Umum Aliansi Srikandi Peduli Perempuan Dan Anak (ASPPA) Puji Purwati

Ketua Umum Aliansi Srikandi Peduli Perempuan Dan Anak (ASPPA) Puji Purwati

Penulis: Marjuddin Nazwar

Jakarta, PERISTIWAINDONESIA.com |

Ketua Umum Aliansi Srikandi Peduli Perempuan Dan Anak (ASPPA) Puji Purwati menyesalkan terjadinya kembali kekerasan seksual di lingkungan pendidikan berbasis pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam di Bandung baru-baru ini.

“Ini masalah yang harus segera di tuntaskan dan butuh kerjasama semua pihak. Para korban wajib mendapatkan perlindungan atas hak asasinya berupa hak atas rasa aman,” tegas Puji Purwati dalam rapat Pimpinan Dewan Pimpinan Nasional Aliansi (DPN) ASPPA, Minggu (12/12/2021) di Cibubur, JakartaTimur.

Menurutnya, permasalahan yang paling krusial adalah, apakah perlindungan hak asasi manusia telah sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, bagaimana bentuk tanggungjawab negara di dalam melindungi hak asasi manusia terhadap korban perkosaan?

“Menurut kami, Negara harus bertanggungjawab sepenuhnya terhadap perempuan yang mengalami tindak kekerasan, bentuk perlindungan hak asasi manusia terhadap perempuan sebagai korban perkosaan adalah melalui layanan terpadu, yang mencakup layanan medis, layanan hukum/bantuan hukum, layanan shelter (rumah aman). Perlindungan terhadap korban dilakukan juga melalui pemantauan disertai dengan program pemulihan,” ujarnya.

Namun demikian, kata Puji, perlindungan hak asasi manusia terhadap perempuan korban perkosaan belum maksimal karena korban belum sepenuhnya mendapatkan pelayanan yang sama. Kedua, perlindungan terhadap perempuan korban perkosaan belum sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Dari hasil penelitian, menurut Puji, masih adanya perlakuan tidak setara, perlakuan yang diskriminatif secara langsung dan tidak langsung oleh petugas layanan kesehatan, bantuan hukum, rumah aman, bahkan oleh Polisi, Jaksa, dan juga Hakim.

“Akibat dari prinsip-prinsip hak asasi manusia yang belum sesuai ini, sehingga hak atas rasa aman atas penderitaan korban berupa rasa takut, rasa trauma, tidak percaya diri akibat hilangnya kesucian (keperawanan), yang wajib dimiliki oleh korban perkosaan belum terpenuhi dan masih jauh dari harapan,” sesalnya.

Masih menurut Pujim yang Ketiga bentuk tanggungjawab negara dalam melindungi korban perkosaan masih sebatas pemantauan, menyusun langkah-langkah peraturan penanganan korban, masih sebatas tempat pengaduan korban.

“Dengan demikian dapat kami simpulkan bahwa perlindungan hak asasi manusia terhadap perempuan korban perkosaan masih belum maksimal dalam melaksanakan tanggungjawabnya, negara tidak melakukan penanganan secara langsung,” imbuhnya.

Ditegaskannya, DPN ASPPA menyatakan bahwa setiap orang wajib dijunjung tinggi hak dan kehormatannya tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, bahkan tidak dapat dicabut oleh siapapun sekalipun oleh dirinya sendiri. Khususnya perempuan sebagai suatu kelompok dalam masyarakat di dalam suatu Negara merupakan kelompok yang juga wajib mendapatkan jaminan atas hak-hak yang dimilikinya secara asasi.

“Perempuan dinyatakan secara eksplisit dan khusus dijamin hak asasinya karena perempuan termasuk dalam kelompok yang vulnerable, bersama-sama dengan kelompok anak, kelompok minoritas, dan kelompok pengungsi serta kelompok rentan lainnya,” pintanya.

Diharapkannya, kelompok perempuan dapat dimasukkan ke dalam kelompok yang lemah, tak terlindungi dan karenanya selalu dalam keadaan yang penuh resiko serta sangat rentan terhadap bahaya, yang salah satu diantaranya adalah adanya kekerasan seksual yang datang dari kelompok lain.

Kerentanan ini, ujar Puji, membuat perempuan sebagai korban kekerasan mengalami fear of crime yang lebih tinggi dari laki-laki, tapi pada kenyataannya perhatian dan tanggungjawab negara dinilai masih lemah dalam memberikan perlindungan terhadap para korban perkosaan sebagaimana diatur dalam pasal 285 KUHP tentang perkosaan tersebut.

“Hanya ditujukan kepada laki – laki yang menjadi pelakunya dan tidak diberikan penjelasan khusus kepada perempuan yang menjadi korbannya,” koreksinya.

Salah satu akibatnya dari lemahnya aturan ini membuat angka korban perkosaan tidak mengalami penurunan karena peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak memberikan efek jera kepada pelaku perkosaan.

“Sepatutnya kekerasan seksual yang terdapat dalam KUHP khususnya tindak pidana perkosaan, harus dipersepsikan lebih luas agar mencakup hak asasi perempuan termasuk memberikan rasa aman, nyaman serta perlindungan secara menyeluruh dan kami akan memperjuangkan hal itu,” katanya mengakhiri (*)

Share :

Baca Juga

Daerah

Kapolda Sumut Dukung Penuh Langkah Pj. Bupati Dr. Sugeng Riyanta, SH.MH di Pemkab. Tapanuli Tengah.

Headline

Lapas Narkotika Jakarta Terima Kunjungan UNODC Filipina

Headline

Ketum SBSI 1992: Pengurus Serikat Buruh Dapat Jadi Kuasa Hukum di PHI

Headline

Soal Pemilu Tahun 2020, Kapolda Papua Diminta Patuhi Telegram Kapolri

Headline

ASN Sering Bolos Kerja, Aulia : Gantikan Jadi Staf “Kandas”

Headline

Diduga Dua Oknum Kepala Sekolah Di Kabupaten Asahan Melakukan Perselingkuhan.

Headline

Dua Sopir Truk Intercooler Korban PHK Melapor ke DPP SBSI 1992

Headline

SBSI 1992 Kabupaten Subang Bangga Atas Kepemimpinan Kapolres AKBP Sumarni