Home / Nusantara / Pariwisata

Sabtu, 5 Desember 2020 - 23:34 WIB

Membaca Masa Lalu, Melakoni Masa Kini Dan Menata Masa Depan

Pecinta Indonesia dari English dan Holland

Pecinta Indonesia dari English dan Holland

Penulis: Agus Susanto

Yogyakarta, PERISTIWAINDONESIA.com |

Tidak banyak yang mengetahui tanggal 14 Juni adalah Hari Purbakala Nasional. Sejarah membuktikan 107 tahun yang lalu (14 Juni 1913), ketika seorang berkewarganegaraan Jerman JE Rumphius menginisiasi berdirinya Lembaga Penelitian Kepurbakalaan (Bataviaach Genootschaap van Kynsten en Wetenschappen).

Selain menjadi hari Purbakala Nasional banyak penggiat kebudayaan mengharapkan menjadi hari kebudayaan Nasional yang memiliki pengertian yang luas dan akan menunjukkan masa lalu, masa kini dan masa depan.

Masa depan tidak akan ada kalau tidak ada masa lalu, dalam hal ini kebudayaan purba, lalu muncul semangat yaitu Purbamileniakala.

Contoh: kunjungan ke Candi Prambanan, disana dijelaskan symbol-simbol yang mengandung filosofi masa lalu yang dibawa oleh agama Hindu, bahwasannya, manusia Hindu dibagi menjadi 4 kastha (Brahmana, Kesatria, Waisha dan Sudra) pembagian ini berdasarkan garis keturunan yang akan sulit, kalau mau lintas kastha.

Sampai kapanpun golongan Sudra yang berisikan pekerja kasar (tukang batu, kayu, las, pande besi) tidak akan bisa pindah ke golongan Waisha yang berisikan kaum pedagang, pegawai rendah kerajaan.

Begitu juga kaum Waisha tidak akan bisa pindah ke kelompok Satria yang berisikan pegawai tinggi kerajaan. Kemudian komandan perang, golongan kesatria tidak bisa naik ke kelas Brahmana yang berisikan keluarga Raja, pemuka agama. Kalau turun kastha juga malu.

Maka akan timbul pertanyaan, “apakah Kastha masih ada saat ini?” Tentu tidak. Ini akan menimbulkan masalah HAM.

Hal kepurbakalaan tidak menambatkan kita pada romantisme masa lalu, tetapi kita harus berpikir kritis dan realustik. Kita sebaiknya berpikir ke kinian fan visioner, kalau tidak mau ketinggalan dengan bangsa lain.

Pembagian kastha memang tidak ada sekarang ini, tetapi bisa kita lihat dari cara bicara dan bahasa yang dipakai, mungkin Brahmana bicaranya dan tutur bahasanya halus, beda dengan Sudra yang kasar bahasanya.

Agak sulit menggolongkan kelompok Waisha dan Kesatria. Kita bisa melihat dari pekerjaannya, bisa terjadi lintas kastha.

Contoh, Orang Sudra yang mau rajin belajar sampai perguruan tinggi bisa mendapatkan sebagai pegawai tinggi di Pemerintahan/Kerajaannya, tentunya masih banyak yang belum disingkap Candi yang ada di Prambanan komplek.

Menurut Penulis, sejarah masa silam merupakan energi Nasionalisme kita yang senantiasa mengaitkan ingatan kolektif kita dengan jaman keemasan di masa silam. Di sinilah bisa kita tarik benang merah antara kepurbakalaan, Budaya dan Kebangsaan.

Dengan adanya candi Sambisari, Kendulan, Prambanan, Plaosan dan Bokoharjo yang masih kokoh berdiri meskipun melewati ujian waktu merupakan bunga rampai pelestarian kebudayaan dan kepurbakalaan.

Kita sudah memiliki energi untuk memperteguh dan membangun masa depan Bangsa Indonesia secara berkelanjutan hingga Tuhan menghentikan langkah kita (*)

Share :

Baca Juga

Headline

Diduga Mafia Tanah, Kades Tarai Bangun Resmi Dilaporkan ke Polda Riau

Nusantara

Tingkatkan Kompetensi Fotografer, Pemko Medan Gelar Pelatihan Fotografi  dan Sertifikasi Uji Profesi

Nusantara

Dalam rangka menyambut HUT Kota Medan ke 432 tahun, Kelurahan Babura Kecamatan Medan Baru menggelar kegiatan aksi bersih susur alur sungai putih

Nusantara

Rapat Kerja KONI Langkat Diharapkan Lahirkan Program Kerja Majukan Para Atlet

Nusantara

Ketua DPRD Langkat Baca Ikrar di Upacara Hari Kesaktian Pancasila

Nusantara

Doa Menyembelih Hewan Kurban Arab-Latin Sesuai Sunnah

Hukum

Termohon Dinas Sosial DKI Jakarta Mangkir di Sidang Eksekusi PTUN Jakarta

Nusantara

Pengawasan Samisade Suka Jaya Harus Di Perketat, DPP LSM BERKORDINASI Minta Inspektorat Menindak Tegas Oknum Pelaksana Dan Kepala Desa