Penulis : Marjuddin Nazwar
Jakarta, PERISTIWAINDONESIA.com |
Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI) 1992 menolak tegas pengesahan Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan karena dinilai akan berpotensi mengubah Buruh di Indonesia menjadi Budak di Negara sendiri.
Hal ini disampaikan Abednego Panjaitan, Kamis (8/10/2020) dalam orasinya dihadapan puluhan ribu massa Buruh dan Mahasiswa yang memadati kawasan Monas di seputaran Istana Negara, Jakarta.
Disampaikan Panjaitan, penghapusan ketentuan pasal 89 dan pasal 90 UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah merobek-robek hak Buruh dan membuka pintu perbudakan di Indonesia.
Soalnya, penghapusan pasal tersebut diduga sebagai pintu masuk bagi pengusaha untuk menjadikan Buruh semakin menderita di Tanah Air.
“Tidak akan ada lagi peranan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota untuk menentukan upah yang sesuai dengan kebutuhan hidup layak bagi Buruh/Pekerja. Awalnya, kedua pasal ini menekankan adanya Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektor Kabupaten/Kota (UMSK) dan peranan UMK dan UMSK di tingkat Kabupaten/Kota sangat membantu kenaikan upah bagi Buruh selama ini, tapi pasal itu pula yang dihapus oleh Pemerintah,” sesalnya.
Sebagai ganti pasal 89 dan pasal 90 adalah : di antara Pasal 90 dan Pasal 91 disiapkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 90A dan Pasal 90B yang berbunyi “Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh di Perusahaan”.
Disebut Panjaitan, ke depan pengusaha hanya diwajibkan untuk membayar upah kepada Pekerja/Buruh sesuai dengan kesepakatan. Pasal 88A ayat 3 yang menyebutkan, “Pengusaha wajib membayar upah sesuai dengan kesepakatan” dianggap telah menimbulkan multi tafsir bagi kalangan Buruh/Pekerja.
“Pasal ini sangat rancu kawan-kawan sekalian. Apabila Buruh dan pengusaha sepakat gajinya kecil, maka gaji kecil tersebut sah menurut hukum dan tidak ada pidananya lagi. Dalih pengusaha ujung-ujungnya berkata sudah berdasarkan kesepakatan. Mestinya jangan dibuat multitafsir dong supaya tidak membingungkan masyarakat. Ini sangat berbahaya! Apabila ini terjadi, maka inilah namanya Perbudakan!” tegas Abednego Panjaitan.
Diyakininya, apabila UU Cipta Kerja ini tetap disahkan, maka tidak akan mungkin lagi upah di atas minimum.
“Coba saudara-saudara pelajari, jikalau Pasal ini disetujui, selama ini kapan dan dimana Pengusaha menyetujui penambahan upah di atas minimum? Umumnya, upah akan naik setelah ada perlawanan Buruh! Karena itu Buruh selalu dikatakan sebagai pemberontak. Padahal biang keroknya adalah keputusan seperti ini. Kenapa dibuat sewenang-wenang tanpa melibatkan kita. Apakah betul kawan-kawan semuanya?” seru Panjaitan disambut teriakan massa “betul!”.
Disampaikan, dengan UU Cipta Kerja yang baru tersebut, maka upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Propinsi/Bupati/Walikota.
Ironisnya, kata Panjaitan, merujuk pada ketentuan pasal 88A ayat 3 UU Cipta Kerja tersebut dinilai sebagai klausul yang membingungkan masyarakat.
“Klausul ini bisa saja disalahgunakan pengusaha untuk memberikan upah lebih rendah dari UMP, dengan dalih sudah atas kesepakatan antara Pengusaha dengan Buruh di Perusahaan. Mestinya klausul ini jangan dimasukkan ke dalam UU karena membuka masalah baru, lalu kita (Buruh) disuruh untuk menggugat di Pengadilan. Padahal, makan saja kadang tak cukup, bagaimana mungkin Buruh berperkara di Pengadilan. Ini gila, kawan-kawan sekalian” pungkasnya.
Disampaikan, Upah Minimum Provinsi (UMP) memang tidak dihilangkan, tapi komponen UMK dan UMSK telah dihapus.
Parahnya lagi, kalimatnya, dapat ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan syarat tertentu yaitu kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, yang meliputi pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi pada Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
“Artinya, kata “dapat ditetapkan” ini juga mengandung makna menyesatkan. Pengalaman kita, kata “dapat” ini diartikan bisa iya dan bisa juga tidak,” sesalnya.
UMK ke depannya, menurut Panjaitan, tergantung usulan Bupati/Walikota setelah mendapatkan penetapan dari Gubernur. Dengan ketentuan ini, maka upah yang diterima Pekerja/Buruh bakal mengecil karena ditetapkan hanya berdasarkan standar UMP saja.
Sebagai Contoh, UMP Sumatera Utara tahun 2019 ditetapkan sebesar Rp.2.303.402,00 per bulan. Namun UMK Kota Medan Tahun 2019 ditetapkan sebesar Rp.2.969.824,00 per bulan.
“Artinya, masih ada selisih kenaikan upah sebesar Rp.666.422,00. Tapi, jika sudah memakai UMP, maka Pekerja/Buruh di Kota Medan hanya menerima upah naik sedikit dari Rp.2.303.402,00. Mengapa begitu? Karena syarat tertentu untuk menaikkan upah hanya mengacu pada kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, yang meliputi pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi pada Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Kondisi ini telah mendapat perlawanan keras dari Buruh selama ini dan kasus seperti inilah menjadi biang kerok kerusuhan selama ini di Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia,” tandasnya (*)