Home / Nasional

Minggu, 8 November 2020 - 16:36 WIB

Waketum Demokrat Willem Wandik Dukung Pemerintah Tetapkan Dance Yulian Flassy Jadi Sekda Papua

Waketum Demokrat Willem Wandik

Waketum Demokrat Willem Wandik

Penulis: Marjuddin Nazwar

Jakarta, PERISTIWAINDONESIA.com |

Anggota DPR RI Fraksi Demokrat Dapil Papua, Willem Wandik mendukung Keputusan Presiden (Kepres) Nomor : 159/TPA tahun 2020 yang menetapkan Dance Yulian Flassy sebagai Sekda Papua berdasarkan Surat Keputusan yang dikeluarkan pada 23 September 2020, ditandatangani Farid Utomo selaku Deputi Bidang Administrasi Sekertariat Kabinet, Presiden Republik Indonesia.

“Dance Yulian Flassy berpengalaman sebagai Sekda di Tolikara, yang berada di Pegunungan Tengah Papua dan Sekda Sorsel, yang berada dipesisir, sehingga dapat menjadi penyeimbang kepemimpinan di Provinsi Papua,” kata Willem Wandik, Minggu (8/11/2020) di Jakarta.

Menurut Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat ini, posisi Sekda sangat strategis dalam membantu tugas dan pelayanan pemerintahan dan masyarakat di Provinsi Papua, terutama dalam membantu tugas Gubernur dan Wakil Gubernur Papua.

Sebelumnya Presiden RI telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) terhadap Dance Yulian Flassy yang menetapkannya sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) definitif Pemerintah Propinsi (Pemprop) Papua.

Hal ini merupakan hasil dari pelaksanaan seleksi jabatan madya untuk posisi Sekretaris Daerah Papua.

Diharapkan Sekda terpilih dapat mensinergikan dan mengefektifkan tugas Pemprop Papua dengan Gubernur, Wakil Gubernur serta Kepala Dinas, sehingga roda pemerintahan maupun pelayanan pada masyarakat Papua berjalan efektif.

Pendapat Pakar Hukum

Sebelumnya, sempat terjadi kisruh atas penetapan Sekda Propinsi Papua ini. Pasalnya dari 3 (tiga) nama yang mengikuti seleksi, Dance Yulian Flassy memperoleh peringkat ranking terendah :

Nilai 74, 99 (Doren Wakerkwa, SH)

Nilai 67, 49 (Drs. Demianus Wausok Siep)

nilai 67, 30 (Dance Yulian Flassy, SE. Msi)

Bagaimana posisi Keppres dalam konteks Hukum Tata Negara?

Menurut Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sulawesi Tenggara Dr Winner Agustinus Siregar SH, belum lama ini menjelaskan beberapa hal yang harus diperhatikan sebagai dasar dalam mengambil keputusan terkait hal itu, yaitu: Dari Proseduralnya ; Secara Substansial ; Dari Aspek Kewenangannya.

Aspek prosedural, secara prosedur terdapat hukum positif Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No 13 Tahun 2014 tentang tata cara pengisian jabatan pimpinan tinggi secara terbuka di lingkungan instansi pemerintah.

Dalam basis hukum tersebut secara expresive verbis dijelaskan secara prosedural bahwa, panitia seleksi menyampaikan hasil penilaian jabatan tinggi utama dan madya (setara dengan eselon Ia dan Ib). Dan memilih sebanyak 3 (tiga) calon sesuai urutan nilai tertinggi. Untuk disampaikan kepada pejabat pembina kepegawaian (Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa, pejabat pembina kepegawaian (Menteri/Pimpinan Lembaga/ Gubernur) mengusulkan 3 (tiga) nama calon yang telah dipilih panitia seleksi kepada Presiden.

“Ada dua hal yang harus dicermati dari prosedural ini, pertama, panitia seleksi hanya sebatas menyampaikan hasil penilaian jabatan tinggi utama dan madya. Dan memilih sebanyak 3 (tiga) calon sesuai urutan nilai tertinggi. Bukan untuk menentukan siapa yang diangkat. Kedua, 3 (tiga) calon sesuai urutan nilai tertinggi tersebut diusulkan kepada Presiden. Secara prosedural dapat dimaknai bahwa Presidenlah sebagai ujung dari prosedur ini,” kata Dr. Winner Agustinus Siregar.

Secara Substansial, sebagai pijakan hukum, dapatlah ditilik bahwa basis konstitusionalnya ada di Pasal 4 ayat (1) Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kemudian secara hirarki norma menurun pada aturan organiknya yakni di Pasal 214 ayat (5) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah.

“Dari ketentuan tersebut, secara lex specialis kemudian dijabarkan pada peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang penjabat Sekretaris Daerah. Secara jelas termuat dalam ketentuan Pasal 5 ayat 1, yakni Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat mengangkat penjabat sekretaris daerah provinsi, untuk melaksanakan tugas sekretaris daerah provinsi, setelah mendapat persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri,” jelas Direktur Celebes Politica Group ini.

Dari Aspek Kewenangan, Agustinus menuturkan, melihat dari prosedur dan substansi tersebut, yang berwewenang adalah Presiden dalam posisinya sebagai Ketua Tim Penilai Akhir (TPA), yang didalamnya terdapat Wakil Presiden, Menteri Sekretaris Kabinet, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepala Badan Intelijen Negara dan Kepala Badan Kepegawaian Negara.

“Pejabat pembina kepegawaian (Menteri/Pimpinan Lembaga/ Gubernur) hanya mengusulkan 3 (tiga) nama calon yang telah dipilih panitia seleksi kepada Presiden. Artinya, penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 159/TPA Tahun 2020 tentang Pengangkatan Pejabat Tinggi Madya di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua, yang mengangkat seseorang menjadi Sekretaris Daerah Papua, memiliki legalitas ditinjau dari hukum administrasi negara,” tegas Agustinus Siregar.

Hak Siapa Membatalkannya?

Doktor hukum tata negara ini menjelaskan, konsekuensi hukum terhadap pemenuhan prosedural, substansial dan kewenangan diatas berdampak pada legitimasi hukum penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 159/TPA Tahun 2020 tentang Pengangkatan Pejabat Tinggi Madya di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua.

“Dari pijakan azas, setidaknya telah terpenuhi kepatuhan hukum dari penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan. Dalam pasal 5 tercantum, terdapat tiga hal yang dipenuhi, yakni asas legalitas, asas pelindungan terhadap hak asasi manusia, dan asas umum pemerintahan yang baik (AUPB),” ujarnya.

Terhadap komplain dari penerbitan Keppres, sebut Agustinus, setidaknya dapat merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan.

Adapun acuannya yakni pada pasal 63 ayat 1, yakni keputusan dapat dilakukan perubahan apabila terdapat kesalahan konsideran, kesalahan redaksional, perubahan dasar pembuatan keputusan, dan/atau ada fakta baru.

“Sebagai pertimbangannya wajib mengacu pada pasal 64 ayat 1, yakni keputusan hanya dapat dilakukan pencabutan apabila terdapat cacat wewenang, prosedur, atau substansi,” tegas Alumni Doroktoral Universitas Hasanudddin ini.

Ia menambahkan, adapun melihat kewenangan pembatalan Kepres dapat mengacu pada pasal 66, yakni pejabat pemerintahan yang menetapkan keputusan, atasan pejabat yang menetapkan keputusan; atau atas putusan Pengadilan.

Dalam posisi kasus ini hanya pejabat pemerintahan yang menetapkan keputusan yakni Presiden Joko Widodo sendiri yang dapat membatalkan Keppres ini. Sebagaimana basis azas Contrarius Actus dalam hukum administrasi pemerintahan.

Alasannya, bahwa tidak ada lagi atasan pejabat yang menetapkan keputusan. Kemudian mengapa putusan pengadilan tidak dapat memenuhi unsur, sebab Keppres aquo tidak memenuhi unsur konkret, individual dan final sebagai dasar legal standing pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Sebab salah satu unsur, yakni final, tidak terpenuhi. Dengan dalil bahwa masih ada prosedur lain selanjutnya yang menjadi dasar hukum pengangkatan Sekretaris Daerah.

Notabene, sepanjang ia memenuhi persyaratan sebagai penjabat sekretaris daerah, sebagaimana dimaksud pasal 6 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Penjabat Sekretaris Daerah, yang berbunyi, calon penjabat sekretaris daerah diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan :

Menduduki jabatan pimpinan tinggi pratama eselon IIa untuk penjabat sekretaris daerah provinsi atau menduduki jabatan pimpinan tinggi pratama eselon IIb untuk penjabat sekretaris daerah kabupaten/kota.

Memiliki pangkat paling rendah pembina utama muda golongan lVc untuk penjabat sekretaris daerah provinsi dan pangkat pembina tingkat I golongan IVb untuk penjabat sekretaris daerah kabupaten/kota

Berusia paling tinggi 1 (satu) tahun sebelum mencapai batas usia pensiun

Mempunyai penilaian prestasi kerja paling kurang bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir

Memiliki rekam jejak jabatan, integritas, dan moralitas yang baik

Tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin tingkat sedang dan/atau berat

Secara materil hal inilah yang menjadi substansi apakah penjabat sekretaris daerah yang diangkat itu layak ataukah tidak.

Sepanjang tidak ada pembatalan hukum (anulir), Keppres aquo tetap sah dan harus dipatuhi sebagaimana asas praduga rechmatig (vermoeden van rechtmatigheid, praesumptio iustae causa). Dengan asas ini setiap tindakan pemerintahan selalu dianggap rechtmatig sampai ada pembatalan.

“Ketika Keppres telah dikeluarkan, maka kewajiban menaatinya. Sebagai negara hukum, selain memastikan substansial hukum yang mestinya semakin diperbarui dan diperbaiki, bekerjanya aparatus hukum- pejabat administrasi negara, dan kita terus membangun budaya hukum yang baik, ketaatan hukum,” pungkasnya (*)

Share :

Baca Juga

Nasional

Amelia Ahmad Yani dan Sejumlah Pensiunan Jenderal Bergabung ke SOKSI

Nasional

Kota Semarang Banjir, Pertokoan dan Perkantoran Tergenang

Nasional

Korwil LMA Lapago Apresiasi Kerja Keras LMA Yalimo Dukung Pembangunan Berpola Holistik dan Terintegrasi

Nasional

TKN 08 Kawal Aksi Damai Pendukung Prabowo-Gibran di MK.

Nasional

Program Transmigrasi Membuka Keterisolasian Daerah Tertinggal

Nasional

Erick Thohir Akui Terima Titipan Partai Seperti Arif Budimanta Dari PDIP

Nasional

Prabowo Subianto Larang Pendukung nya Melakukan Aksi Damai di Gedung MK, Maupun di Tempat Lain.

Nasional

Satgas Sigrak Kemantren Yogyakarta Advokasi Pemenuhan Hak Identitas Anak