Bandar Lampung — Peristiwaindonesia.com
Sengketa lahan di Jalan Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Kota Bandar Lampung, kembali mencuat setelah pihak ahli waris almarhum Hi. Muhammad Nawawi menggugat Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bandar Lampung ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan tersebut dilayangkan oleh Riva Yanuar, ahli waris almarhum, pada 27 Maret 2025, dengan tuntutan pembatalan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 723/GR dan 724/GR yang dinilai cacat hukum.
Menurut Riva, lahan yang disengketakan telah dikuasai keluarganya sejak tahun 1930, diperkuat dengan bukti-bukti hukum berupa akta jual beli (1930), akta hibah (1934), surat agraria (1974–1975), surat dari Walikota Madya (1986), serta surat sporadik tahun 2017. Namun saat pihaknya mengajukan pembuatan sertifikat hak milik ke BPN awal tahun ini, permohonan justru ditolak dengan alasan tanah tersebut telah bersertifikat atas nama pihak lain.
“Tanah itu milik sah keluarga kami secara hukum dan historis. Penolakan BPN tanpa dasar kuat adalah bentuk ketidakadilan,” tegas Riva Yanuar, Senin (6/10/2025).
Kuasa hukum penggugat, Caesar Kurniawan, SH., MH, mengungkapkan bahwa proses persidangan sempat diwarnai dugaan intervensi dari salah satu pihak tergugat. Dugaan itu muncul ketika majelis hakim hendak melakukan pemeriksaan setempat (plaatsopneming) di lokasi tanah sengketa.
Menurut Caesar, tiba-tiba muncul surat dari pihak tergugat berinisial AK.S, yang disebut-sebut menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) di salah satu daerah. Dalam surat tersebut, AK.S dikatakan melarang majelis hakim memasuki area tanah yang disengketakan, bahkan mengancam akan melapor ke kepolisian apabila larangan diabaikan.
“Pemeriksaan setempat adalah bagian sah dari proses pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 153 HIR dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2001. Tapi anehnya, majelis hakim justru diduga mengikuti arahan dari pihak tergugat,” ujar Caesar.
Ia menilai, tindakan tersebut mencederai prinsip independensi peradilan dan dapat menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. “Jika benar ada intervensi dari pejabat peradilan, ini bahaya besar bagi sistem hukum kita. Hakim seharusnya bebas dari tekanan dan pengaruh eksternal,” tegasnya.
Akibat sengketa yang berlarut-larut, keluarga ahli waris tidak dapat memanfaatkan lahan yang mereka klaim sebagai hak turun-temurun. Masyarakat sekitar pun turut merasakan dampak ketidakpastian hukum tersebut.
“Kami sudah puluhan tahun menguasai tanah itu, tapi kini tidak bisa menikmatinya. Kami berharap hakim bersikap netral dan memutus perkara berdasarkan fakta hukum, bukan tekanan pihak tertentu,” ujar Riva Yanuar.
Caesar Kurniawan menambahkan, pihaknya siap menempuh banding, kasasi, hingga peninjauan kembali (PK) jika diperlukan. Ia juga menyerukan kepada Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) untuk memantau jalannya perkara ini, agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.
“Kami akan terus memperjuangkan hak rakyat kecil. Tidak boleh ada kekuasaan yang menginjak-injak keadilan,” pungkas Caesar.
Sengketa ini bukan sekadar perkara administratif, melainkan perjuangan keluarga almarhum Hi. Muhammad Nawawi mempertahankan hak waris yang diyakini sah secara hukum dan sejarah.
“Perjuangan ini bukan hanya untuk keluarga kami, tapi untuk membuktikan bahwa hukum seharusnya berpihak pada kebenaran,” tutup Riva Yanuar dengan nada tegas. ( Red )