Penulis : Prof Dr Muchtar B Pakpahan SH MA
Salam solidaritas,
Setelah RUU Cipta Kerja disahkan pada 5 Oktober 2020, kemudian Senin 12 Oktober saya menulis analisis versi yang kami peroleh dari akun Baleg DPR RI pada Jumat 9 Oktober 2020. Dan isinya sama dengan yang ada pada akun Kemenko Perekonomian pada Sabtu 10 Oktober 2020, yaitu sama-sama 1028 halaman. Selanjutnya saya bahas Bab IV Ketenagakerjaan dari halaman 553-581.
Akan tetapi pada Selasa 13 Oktober 2020 kami memperoleh versi terakhir sesuai dengan yang diserahkan Sekretaris Jenderal DPR RI ke Menteri Sekretaris Negara yaitu 812 halaman. Kemudian saya sebut versi 812 halaman.
Sebelumnya saya kemukakan juga pengalaman saya yang unik. Setelah disahkan hari Senin tanggal 5 Oktober 2020, kami kembali mendapat RUU yang disahkan pada tanggal 6 Oktober 2020 dari pengurus partai pendukung, versi 905 halaman.
Materi versi 905 mendorong (K) SBSI berunjuk rasa. Beberapa petinggi negara antara lain Menkopolhukam dan Presiden menyebut telah beredar hoaks. Kemudian kami temukan versi 1028 pada Jumat dan Sabtu tanggal 10 Oktober 2020.
Setelah saya tulis analisis berdasarkan versi 1028, kemudian pada hari Selasa pagi muncul dari seorang jurnalis versi 1035. Tetapi sekira pukul 17.00 WIB, kami saksikan adanya versi 812 yang kemudian diserahkan Sekjen DPR ke Mensesneg.
Sekarang izinkan saya membagi analisis versi yang final, yaitu versi 812 Bab IV Ketenagakerjaan mulai halaman 341 serta dibandingkan dengan versi 1028 dengan topik-topik yang akan membuat Buruh menderita.
Note dalam tulisan ini, di versi 1028 saya tulis Undang-Undang Cipta Kerja dengan singkatan UU Ciptaker di versi 812, sedangkan Undang-Undang Cipta Kerja saya singkatkan menjadi UCK. Sementara Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan saya singkat dengan UUK.
- UU Memudahkan Berinvestasi
Secara keseluruhan materi pengaturan dari UU Ciptakerja ini adalah berisi ketentuan yang tujuannya memudahkan berinvestasi.
Dalam rangka memudahkan berinvestasi, 11 klaster digabung menjadi satu Undang-undang, yang dapat diperkirakan menimbulkan ancaman pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang bila dikaitkan dengan alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945 yang lebih lanjut penjabarannya dalam Pasal 1 (3), Pasal 28, Pasal 27 (2), dan Pasal 33 UUD NRI 1945.
Secara serius yang perlu dicermati dari UU ini mulai dari konsiderans menimbang butir (a), yang tidak mencantumkan tujuan nasional sebagai tujuan pembentukan negara Indonesia sebagaimana diamanahkan Pembukaan UUD NRI 1945 alinea IV.
Menurut hemat saya, berdasarkan konsiderans menimbang butir (a) dan isi UU Cipta Kerja, titel atau nama yang lebih tepat untuk Undang-undang ini adalah Undang-Undang tentang Kemudahan Berinvestasi bukan Undang-undang tentang Cipta Kerja.
- Menjadi Buruh Kontrak Selama Bekerja
Dari versi 1028, dalam Pasal 89 Butir 12 UU Ciptaker ini menyatakan “Ketentuan Pasal 59 [UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan] dihapus.”
Pasal 59 (4) UU Ketenagakerjaan berbunyi: “PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.”
Dengan dicabutnya Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, berarti tidak ada lagi pembatasan masa waktu status Buruh kontrak, atau akan menyandang status buruh kontrak (kuli kontrak istilah Bung Karno) selama bekerja.
Sistem ini oleh Bung Karno disebut d’exploitation d’lhome par lhome (penghisapan darah manusia oleh manusia) dan sistem ini sebagai anak kandung kapitalis harus dihapus dari bumi Indonesia.
Dari versi 812, Pasal 59 dihidupkan tetapi dilakukan perubahan. Yang tadinya 4 sub, ditambah 1 menjadi Pasal 59 (1) e: “PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap. Dimasukkan yang baru dalam Pasal 59 (3): PKWT yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) demi hukum menjadi PKWTT.
Isi versi 812 lumayan baik bila dibandingkan dengan versi 1028. Tetapi versi 812 masih jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan Pasal 59 (4) UUK. Sebab Pasal 59 (4) ada jaminan, bila PKWT lebih dari 3 tahun, demi hukum menjadi PKWTT. Kepastiann dari versi 812 Pasal 59 (3) masih menunggu Peraturan Pemerintah, ditambah lagi sikap mental para petinggi ketenagakerjaan yang menurut saya mayoritas memihak pengusaha, sementara Pasal 59 (3) memberikan jaminan bahwa bila lebih dari 3 tahun sebagai PKWT, otomatis menjadi PKWTT.
- Memberlakukan Outsourcing di Semua Bidang Kerja
Pasal 89 UU Ciptaker butir 16 dan 17 menyatakan “16. Ketentuan Pasal 64 [UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan] dihapus; 17. Ketentuan Pasal 65 [UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan] dihapus.” Padahal Pasal 65 (2) UU Ketenagakerjaan berbunyi: “Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi kerja;
- merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
- tidak menghambat proses produksi secara langsung.”
Pasal 65 (2) UU Ketenagakerjaan ini adalah sebagai jaminan tidak semua bidang kerja dapat di”outsourcing”kan. Hanya pekerjaan yang tidak ada hubungan dengan kegiatan utama atau core bisnis yang bisa dilakukan dengan sistem outsourcing. Dengan UU Ciptaker, semua tugas sudah dapat di”outsourcing”kan dan tanpa batas waktu.
UU Ciptaker memperluas kesempatan outsourcing atau aannemer (bhs. Belanda) di”outsourcing.” Sekali outsourcing akan menjadi outsourcing selama Buruh bekerja. Menurut Bung Karno, aannemer adalah salah satu sistem perbudakan kapitalis yang harus dihapus dari bumi Indonesia.
Dalam versi 812 Pasal 81 UCK butir 18 dan 19, bunyinya sama dengan versi 1028 Pasal 89 butir 16 dan 17 membatalkan UUK Pasal 64 dan 65. Berarti versi 812 adalah sama dengan versi 1028, yaitu memberlakukan outsourcing (adi daya) di semua bidang kerja.
- Tidak Ada Jaminan Perlindungan Upah
Dalam Pasal 89 Butir 24 melakukan perubahan berisi penghilangan perlindungan upah buruh, dan selanjutnya mengatur bahwa upah minimum ditentukan Gubernur (Pasal 89 Butir 24.c.(1)) berdasarkan rumus UMt+1 = UMt+ (UMt x %PEt) (Pasal 89 Butir 24.d.(1)) dengan dilanjutkan penghapusan ketentuan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu Pasal 89 (dihapus di Pasal 89 Butir 25 UU Ciptaker), Pasal 90 (dihapus di Pasal 89 Butir 26 UCK) dan Pasal 91 (dihapus di Pasal 89 Butir 25 UCK
Padahal pasal 89 (3) UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan berbunyi: “Upah minimum (diarahkan pencapaian kebutuhan hidup layak) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan.”
Serta Pasal 90 (1) UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan berbunyi: “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Bila dilakukan ada pidananya 4 (empat) tahun sesuai pasal 185 UU Ketenagakerjaan.”
Dan, Pasal 91 (1) UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan berbunyi: “Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan Pekerja/Buruh atau SP/SB tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dengan penghapusan ketiga pasal di atas, tidak ada lagi peran tripartit (pengusaha, pemerintah, dan Buruh), seperti sekarang. Gubernur dimungkinkan untuk berunding hanya dengan KADIN-APINDO tanpa representasi buruh. Bahkan, tidak terdapat sanksi bagi pengusaha yang membayar upah di bawah UMP. Padahal, perundingan upah adalah satu tugas/fungsi penting dari serikat buruh.
Dalam versi 812 Pasal 81 butir 26 menghapus UUK Pasal 89 dan butir 27 menghapus UUK Pasal 90. Tetap isinya sama tidak ada perlindungan upah, sebab Gubernur tetap tidak perlu mendengar rekomendasi tripartit, walaupun menurut Pasal 98 ada Dewan Pengupahan yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan. Tetapi tidak lagi berdasarkan rumus tetapi menunggu Peraturan Pemerintah. Begitu penting syarat menentukan upah, tidak Undang-undang ini yang mengatur melainkan Peraturan Pemerintah.
- PHK Dan Pesangon
Dalam Pasal 89 butir 38 UU Ciptaker menghilangkan Pasal 151 (1) UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi: ”Pengusaha, Pekerja/Buruh, SP/SB dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK.”
Kemudian Putusan MK Nomor : 012/PUU-I/2003 dan 19/PUU-X/2011 melarang PHK kecuali karena melakukan pelanggaran berat dan perusahaan tutup. Kehadiran Pasal 89 Butir 38 UU Ciptaker ini memudahkan PHK sepihak dengan kerugian di pihak Buruh.
Dalam versi 812, Pasal 152 dicabut. Pasal ini mengatur bila tidak tercapai kesepakatan PHK, permohonan penetapan PHK diajukan ke lembaga penyelesaian perselisihan (diatur dalam UU No 2 tahun 2004), PHK baru berlangsung setelah ada penetapan. Serta dengan dicabutnya juga Pasal 154 UUK (1): PHK tanpa penetapan sebagaimana dimaksud Pasal 151 (3) batal demi hukum. Dengan demikian versi 812, makin mudah mem-PHK tanpa lembaga penyelesaian perselisihan.
Karena itu, kami memperkirakan bahwa UU Cipta Kerja akan membawa penderitaan bagi buruh, petani dan nelayan, dan menghasilkan ketidakadilan sosial, memperlebar jurang antara orang kaya dengan orang miskin.
UU Cipta Kerja adalah pengkhianatan terhadap konstitusi khususnya tujuan nasional alinea ke-4 Pembukaan UUD NKRI 1945 dan penjabarannya dalam Pasal 1 (3), Pasal 27 (2), Pasal 28, dan Pasal 33.
(K) SBSI akan menempuh langkah melakukan uji materi terhadap 5 topik di atas dengan menguji tiap-tiap topik (Penulis adalah Ketua Umum Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia)