• Jum. Apr 19th, 2024

Warga Desa Pertibi Klaim Tanah Ulayat, Relokasi Tahap III Penyiapan LUT Terancam Tertunda

Byabed nego panjaitan

Nov 5, 2020

Penulis: Jampang Ginting

Karo, PERISTIWAINDONESIA.com |

Puluhan Warga Pertibi Lama dan Pertibi Tembe Kecamatan Merek Kabupaten Karo meminta kepada PT Mega Mulya Mas agar tidak beroperasi mencabut tongkol kayu sisa-sisa bekas penebangan kayu lanjutan pembangunan Relokasi Tahap III di Siosar Kecamatan Merek dalam sektor penyiapan dan pengolahan Lahan Usaha Pertanian (LUT).

“Permintaan warga itu supaya tidak terjadi anarkis di lapangan, maka untuk itu kami minta tolong diberhentikan saja dulu, ini bukan mengancam tapi ini aspirasi masyarakat saya dan harus saya sampaikan,” kata Kepala Desa Pertibi Nelson Munte saat mengikuti rapat mengidentifikasi dan penyelesaian permasalahan penyiapan lahan usaha tani relokasi Tahap III, Selasa (3/11/2020) sekira pukul 15:00 WIB di ruang rapat Bupati Karo.

Hadir dalam rapat tersebut Bupati Karo Terkelin Brahmana, pelaksana Asisten 1 Pemerintahan Davit Trimei Sinulingga, Kabag Ops Polres Tanah Karo Kompol D Munthe, Pasi Teritorial Kodim 0205 /TK Kapten JMH Tampubolon, Kadis Pertanian Metehsa Purba, Plt Kalak BPBD Natanail Perangin-angin, Camat Merek Juspri Nadeak, Kabid Lingkungan Hidup Ida Yani dan pihak rekanan kontraktor Relokasi Tahap III.

Di kesempatan itu, Nelson Munte meminta solusi atas konflik kepentingan ini dan sebelum ada solusinya, maka kegiatan yang berkaitan dengan tanah ulayat milik warganya, yang masih diklaim milik hutan Negara supaya sementara waktu dihentikan.

Pelaksana Tugas Kalak BPBD Karo Natanael Perangin-angin membenarkan adanya konflik kepentingan antara masyarakat dengan pemerintah.

Keterlambatan ini dikuatkan dengan maraknya penggarapan lahan di lapangan dan adanya larangan kepada pengusaha rekanan kontraktor yang bekerja saat mencabut tongkol kayu (land clearing).

Menurut Natanail, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 457 Tahun 2017 menyebutkan luas lahan 480,11 Haktare diperuntukkan keperluan lahan usaha pertanian pengungsi erupsi Gunung Sinabung.

“Jadi kami sebagai user tidak tahu jika ada masyarakat yang mengklaim bahwa itu adalah tanah ulayat desa,” paparnya

Hal yang sama dikemukakan mantan Kalak BPBD Kabupaten Karo Ir Martin Sitepu sepengetahuannya bahwa desa Siosar sebetulnya namanya perluasan kawasan buatan Siosar, hanya dulu batas-batasnya tidak diketahui, namun masyarakat setempat telah menyerahkan kepada pemerintah pada tahun 1960 sesuai dokumen yang ada.

“Dalam arti kata ‘involving’ dengan melibatkan unsur masyarakat sekitar dan unsur pemerintah saat itu,” imbuhnya.

Jadi, kata Martin Sitepu, aneh sekarang jika ada masyarakat mengklaim lokasi tersebut sebagai tanah ulayat.

“Itu sah-sah saja, hanya perlu dirembukkan ulang jika ada dokumen surat lagi yang belum terpantau oleh Pemerintah, sillahkan disampaikan,” pinta Martin.

Lebih lanjut dijelaskannya, pada Tahun 1980 dibuat tapal batas dan pemerintah menetapkan tanah ulayat masuk kawasan hutan dan milik negara, hal ini juga dibuktikan dengan adanya tandatangan bersama unsur desa dan unsur pemerintah daerah.

Sebagai bahan pertimbangan, buat masyarakat setempat, kata Martin, pada Tahun 2003 dan 2004 ada penebangan pinus oleh Pemerintah.

“Saat itu sepengetahuan saya masyarakat tidak ada yang komplain. Padahal momen saat itu sangat tepat untuk mencegah agar kayu tidak ditebang. Maaf ini lahan kami, jadi bukan sekarang diributkan,” ungkap Martin.

Mendengar hal tersebut, Bupati Karo Terkelin Brahmana menilai permasalahan yang sedang terjadi karena adanya miskomunikasi, sehingga muncul permasalahan yang seharusnya dapat dirembukkan sesuai budaya kearifan lokal, yaitu musyawarah dan mufakat.

Untuk itu, Terkelin meminta kepada Dinas Kehutanan KPH 15 yang hadir agar menyampaikan permasalahan ini ke tingkat Kehutanan Propinsi sehingga didapat “win win solution”.

“Supaya kita semua satu persepsi,” tandasnya (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *